http://id.wikipedia.org/wiki/Metanol
Metanol, juga dikenal sebagai metil alkohol, wood alcohol atau spiritus, adalah senyawa kimia dengan rumus kimia CH3OH. Ia merupakan bentuk alkohol paling sederhana. Pada "keadaan atmosfer" ia berbentuk cairan yang ringan, mudah menguap, tidak berwarna, mudah terbakar, dan beracun dengan bau yang khas (berbau lebih ringan daripada etanol). Ia digunakan sebagai bahan pendingin anti beku, pelarut, bahan bakar dan sebagai bahan additif bagi etanol industri.
Metanol diproduksi secara alami oleh metabolisme anaerobik oleh bakteri. Hasil proses tersebut adalah uap metanol (dalam jumlah kecil) di udara. Setelah beberapa hari, uap metanol tersebut akan teroksidasi oleh oksigen dengan bantuan sinar matahari menjadi karbon dioksida dan air.
Reaksi kimia metanol yang terbakar di udara dan membentuk karbon dioksida dan air adalah sebagai berikut:
2 CH3OH + 3 O2 → 2 CO2 + 4 H2O
Api dari metanol biasanya tidak berwarna. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati bila berada dekat metanol yang terbakar untuk mencegah cedera akibat api yang tak terlihat.
Karena sifatnya yang beracun, metanol sering digunakan sebagai bahan additif bagi pembuatan alkohol untuk penggunaan industri; Penambahan "racun" ini akan menghindarkan industri dari pajak yang dapat dikenakan karena etanol merupakan bahan utama untuk minuman keras (minuman beralkohol). Metanol kadang juga disebut sebagai wood alcohol karena ia dahulu merupakan produk samping dari distilasi kayu. Saat ini metanol dihasilkan melului proses multi tahap. Secara singkat, gas alam dan uap air dibakar dalam tungku untuk membentuk gas hidrogen dan karbon monoksida; kemudian, gas hidrogen dan karbon monoksida ini bereaksi dalam tekanan tinggi dengan bantuan katalis untuk menghasilkan metanol. Tahap pembentukannya adalah endotermik dan tahap sintesisnya adalah eksotermik.
[sunting] Sejarah
Dalam proses pengawetan mayat, orang Mesir kuno menggunakan berbagai macam campuran, termasuk di dalamnya metanol, yang mereka peroleh dari pirolisis kayu. Methanol murni, pertama kali berhasil diisolasi tahun 1661 oleh Robert Boyle, yang menamakannya spirit of box, karena ia menghasilkannya melalui distilasi kotak kayu. Nama itu kemudian lebih dikenal sebagai pyroxylic spirit (spiritus). Pada tahun 1834, ahli kimia Perancis Jean-Baptiste Dumas dan Eugene Peligot menentukan komposisi kimianya. Mereka juga memperkenalkan nama methylene untuk kimia organik, yang diambil dari bahasa Yunani methy = "anggur") + hŷlē = kayu (bagian dari pohon). Kata itu semula dimaksudkan untuk menyatakan "alkohol dari (bahan) kayu", tetapi mereka melakukan kesalahan.
Kata methyl pada tahun 1840 diambil dari methylene, dan kemudian digunakan untuk mendeskripsikan "metil alkohol". Nama ini kemudian disingkat menjadi "metanol" tahun 1892 oleh International Conference on Chemical Nomenclature. Suffiks [-yl] (indonesia {il}) yang digunakan dalam kimia organik untuk membentuk nama radikal-radikal, diambil dari kata "methyl".
Pada tahun 1923, ahli kimia Jerman, Matthias Pier, yang bekerja untuk BASF mengembangkan cara mengubah gas sintesis (syngas / campuran dari karbon dioksida and hidrogen) menjadi metanol. Proses ini menggunakan katalis zinc chromate (seng kromat), dan memerlukan kondisi ekstrim —tekanan sekitar 30–100 MPa (300–1000 atm), dan temperatur sekitar 400 °C. Produksi metanol modern telah lebih effisien dengan menggunakan katalis tembaga yang mampu beroperasi pada tekanan relatif lebih rendah.
Penggunaan metanol sebagai bahan bakar mulai mendapat perhatian ketika krisis minyak bumi terjadi di tahun 1970-an karena ia mudah tersedia dan murah. Masalah timbul pada pengembangan awalnya untuk campuran metanol-bensin. Untuk menghasilkan harga yang lebih murah, beberapa produsen cenderung mencampur metanol lebih banyak. Produsen lainnya menggunakan teknik pencampuran dan penanganan yang tidak tepat. Akibatnya, hal ini menurunkan mutu bahan bakar yang dihasilkan. Akan tetapi, metanol masih menarik utuk digunakan sebagai bahan bakar bersih. Mobil-mobil dengan bahan bakar fleksibel yang dikeluarkan oleh General Motors, Ford dan Chrysler dapat beroperasi dengan setiap kombinasi etanol, metanol dan/atau bensin.
[sunting] Produksi
Saat ini, gas sintesis umumnya dihasilkan dari metana yang merupakan komponen dari gas alam. Terdapat tiga proses yang dipraktekkan secara komersial.
Pada tekanan sedang 1 hingga 2 MPa (10–20 atm) dan temperatur tinggi (sekitar 850 °C), metana bereaksi dengan uap air (steam) dengan katalis nikel untuk menghasilkan gas sintesis menurut reaksi kimia berikut:
CH4 + H2O → CO + 3 H2
Reaksi ini, umumnya dinamakan steam-methane reforming atau SMR, merupakan reaksi endotermik dan limitasi perpindahan panasnya menjadi batasan dari ukuran reaktor katalitik yang digunakan.
Metana juga dapat mengalami oksidasi parsial dengan molekul oksigen untuk menghasilkan gas sintesis melalui reaksi kimia berikut:
2 CH4 + O2 → 2 CO + 4 H2
reaksi ini adalah eksotermik dan panas yang dihasilkan dapat digunakan secara in-situ untuk menggerakkan reaksi steam-methane reforming. Ketika dua proses tersebut dikombinasikan, proses ini disebut sebagai autothermal reforming. Rasio CO and H2 dapat diatur dengan menggunakan reaksi perpindahan air-gas (the water-gas shift reaction):
CO + H2O → CO2 + H2,
untuk menghasilkan stoikiometri yang sesuai dalam sintesis metanol.
Karbon monoksida dan hidrogen kemudian bereaksi dengan katalis kedua untuk menghasilkan metanol. Saat ini, katalis yang umum digunakan adalah campuran tembaga, seng oksida, dan alumina, yang pertama kali digunakan oleh ICI di tahun 1966. Pada 5–10 MPa (50–100 atm) dan 250 °C, ia dapat mengkatalisis produksi metanol dari karbon monoksida dan hidrogen dengan selektifitas yang tinggi:
CO + 2 H2 → CH3OH
Sangat perlu diperhatikan bahwa setiap produksi gas sintesis dari metana menghasilkan 3 mol hidrogen untuk setiap mol karbon monoksida, sedangkan sintesis metanol hanya memerlukan 2 mol hidrogen untuk setiap mol karbon monoksida. Salah satu cara mengatasi kelebihan hidrogen ini adalah dengan menginjeksikan karbon dioksida ke dalam reaktor sintesis metanol, dimana ia akan bereaksi membentuk metanol sesuai dengan reaksi kimia berikut:
CO2 + 3 H2 → CH3OH + H2O
Walaupun gas alam merupakan bahan yang paling ekonomis dan umum digunakan untuk menghasilkan metanol, bahan baku lain juga dapat digunakan. Ketika tidak terdapat gas alam, produk petroleum ringan juga dapat digunakan. Di Afrika Selatan, sebuah perusahaan (Sasol) menghasilkan metanol dengan menggunakan gas sintesis dari batu bara.
[sunting] Kegunaan
Metanol digunakan secara terbatas dalam mesin pembakaran dalam, dikarenakan methanol tidak mudah terbakar dibandingkan dengan bensin. Metanol campuran merupakan bahan bakar dalam model radio kontrol.
Salah satu kelemahan metanol sebagai bahan bakar adalah sifat korosi terhadap beberapa logam, termasuk aluminium. Metanol, merupakan asam lemah, menyerang lapisan oksida yang biasanya melindungi aluminium dari korosi:
6 CH3OH + Al2O3 → 2 Al(OCH3)3 + 3 H2O
Ketika diproduksi dari kayu atau bahan oganik lainnya, metanol organik tersebut merupakan bahan bakar terbarui yang dapat menggantikan hidrokarbon. Namun mobil modern pun masih tidak bisa menggunakan BA100 (100% bioalkohol) sebagai bahan bakar tanpa modifikasi. Metanol juga digunakan sebagai solven dan sebagai antifreeze, dan fluida pencuci kaca depan mobil.
Penggunaan metanol terbanyak adalah sebagai bahan pembuat bahan kimia lainnya. Sekitar 40% metanol diubah menjadi formaldehyde, dan dari sana menjadi berbagai macam produk seperti plastik, plywood, cat, peledak, dan tekstil.
Dalam beberapa pabrik pengolahan air limbah, sejumlah kecil metanol digunakan ke air limbah sebagai bahan makanan karbon untuk denitrifikasi bakteri, yang mengubah nitrat menjadi nitrogen.
bahan bakar direct-metanol unik karena suhunya yang rendah, operasi pada tekanan atmofser, mengijinkan mereka dibuat kecil. Ditambah lagi dengan penyimpanan dan penanganan yang mudah dan aman membuat metanol dapat digunakan dalam perlengkapan elektronik.
http://majarimagazine.com/2008/05/biomass-to-liquid-btl/ (2 okt 2010)
Teknologi BTL (Biomass To Liquid) pada dasarnya terdiri atas dua proses, proses pencairan tidak langsung dimulai dengan reaksi reformasi/gasifikasi bahan baku menjadi gas sintesis (campuran gas hidrogen dan karbon monoksida), diikuti dengan sintesis Fischer-Tropsch (F-T) dari gas sintesis menghasilkan minyak sintesis (syncrude), dan upgrading minyak sintesis menjadi bahan bakar sintesis seperti diesel (solar) sintesis yang dikenal sebagai F-T diesel, liquefied petroleum gas (LPG), kerosin dan naftalen. F-T liquid memiliki keunggulan, yaitu hampir bebas dari kandungan sulfur (< 5 ppm), rendah kandungan aromatik (< 1 persen), biodegradable, tidak beracun, dapat digunakan tanpa modifikasi infrastruktur, dan memiliki emisi polutan yang rendah. Gambar di bawah ini menampilkan diagram alir sederhana teknologi BTL.
Gambar 1. Diagram alir proses konversi biomassa menjadi bahan bakar cair.
Dari diagram alir di atas, terlihat bahwa teknologi BTL ini dimulai dengan melakukan perlakuan awal terhadap biomassa yang digunakan sebagai umpan. Perlakuan awal ini mencakup pengecilan ukuran dan pengeringan yang dilakukan dalam sebuah rotary dryer. Panas yang diperlukan pada proses pengeringan ini diperoleh dari panas sensibel gas buang.
Bagian proses selanjutnya adalah proses gasifikasi biomassa. Gasifikasi biomassa adalah proses bertemperatur tinggi (600-1000°C) untuk mendekomposisi hidrokarbon dalam biomassa menjadi molekul-molekul gas yang terutama terdiri dari hidrogen, karbon monoksida, dan karbon dioksida. Pada banyak kasus, proses gasifikasi juga menghasilkan arang, tar, serta metanol, air, dan berbagai molekul dan senyawa lainnya. Konversi biomassa menjadi gas sintesis secara umum melibatkan dua proses. Proses pertama adalah pirolisis. Pirolisis melepaskan gas-gas terbang yang terkandung dalam biomassa pada temperatur di bawah 600°C melalui serangkaian reaksi yang kompleks. Proses berikutnya adalah konversi arang.
Banyak metode gasifikasi yang tersedia untuk memproduksi gas sintesis. Metode-metode ini akan menghasilkan komposisi gas sintesis yang beraneka-ragam yang mana variasi perbandingan CO dengan H2 dapat tercapai. Gas sintesis yang diproduksi oleh metode yang berbeda akan mengandung pengotor yang berbeda-beda. Pengotor ini selanjutnya akan mempengaruhi proses yang akan berlangsung dalam reaktor Fischer-Tropsch berkaitan dengan racun katalis sehingga diperlukan pencucian gas sintesis. Salah satu metode gasifikasi berskala komersial telah dikembangkan oleh CHOREN.
Gambar 2. CHOREN Carbo-V Process.
Gas sintesis yang dihasilkan dari proses gasifikasi mengandung kontaminan yang berbeda-beda seperti partikulat, tar, alkali, H2S, HCl, NH3, dan HCN. Kontaminan ini akan menurunkan aktivitas pada sintesis Fischer-Tropsch karena akan meracuni katalis. Sulfur adalah racun yang tidak dapat dihilangkan dari katalis yang mengandung kobalt dan besi karena sulfur akan melekat pada sisi aktif katalis. Selain sulfur, tar yang dihasilkan pada proses gasifikasi dapat menimbulkan kerak pada peralatan dan memasuki pori pada penyaring ketika terkondensasi. Untuk menghindari terjadinya hal-hal tersebut, tar harus berada di bawah titik embunnya pada tekanan operasi sintesis Fischer-Tropsch. Oleh karena itu, tar sebaiknya direngkah menjadi hidrokarbon dengan rantai yang lebih pendek.
Setelah mengalami gasifikasi, gas sintesis akan diproses dalam reaktor sintesis Fischer-Tropsch. Pada umumnya, katalis yang digunakan dalam proses ini adalah besi atau kobalt dengan silika sebagai support. Namun, kualitas gas sintesis hasil gasifikasi biomassa belum memenuhi persyaratan dilangsungkannya sintesis Fischer-Tropsch, karena itu perlu dilakukan pengkondisian terlebih dahulu.
Gas sintesa hasil gasifikasi memiliki rasio H2/CO sekitar 0.6-0.8, sedangkan sintesis Fischer-Tropsch membutuhkan rasio tersebut sekitar 2. Karenanya, gas sintesa akan mengalami shift reaction untuk menambahkan H2 hingga memenuhi persyaratan berlangsungnya sintesis Fischer-Tropsch. Shift reaction berlangsung dengan mekanisme sebagai berikut:
CO + H2O -> CO2 + H2
Katalis yang digunakan dalam shift reaction adalah Fe3O4 atau logam-logam transisi yang lain. Reaksi ini sangat sensitif terhadap temperatur dengan kecenderungan bergeser ke arah reaktan jika temperatur dinaikkan.
Reaksi Fischer-Tropsch menghasilkan hidrokarbon dengan panjang rantai yang bervariasi dengan mereaksikan campuran karbon monoksida dengan hidrogen (gas sintesis). Saat ini, reaksi ini dioperasikan secara komersial oleh Sasol di Afrika Selatan (dari gas sintesis batubara) dan Shell di Malaysia (dari gas sintesis gas alam). Produk yang dihasilkan oleh reaksi F-T adalah hidrokarbon dengan panjang rantai yang bervariasi. Selektivitas cairan yang tinggi sangat diharapkan untuk mendapatkan jumlah maksimum dari hidrokarbon rantai panjang. Perolehan C1-C4 akan menurun seiring dengan meningkatnya selektivitas C5+. Keberadaan C1-C4 pada offgas dapat digunakan secara efisien pada turbin gas sebagai pembangkit listrik.
Proses F-T umumnya beroperasi pada rentang tekanan dan temperatur sebesar 20-40 bar dan 180-250°C. Semakin tinggi tekanan parsial H2 dan CO akan memberikan selektivitas yang semakin tinggi untuk C5+. Banyaknya inert pada syngas akan menurunkan tekanan parsial H2 dan CO dan menurunkan selektivitas C5+.
Jika produk akhir yang diinginkan adalah diesel, produk F-T memerlukan hydrocracking. Hidrogen ditambahkan untuk memutuskan ikatan rangkap setelah F-T-liquids direngkah secara katalitik dengan menggunakan hidrogen. Produk F-T telah seluruhnya bersih dari sulfur, nitrogen, nikel, vanadium, asphaltene dan aromatik yang selama ini ditemukan dalam produk pengilangan minyak bumi. F-T diesel dengan angka cetane yang sangat tinggi juga dapat digunakan sebagai komponen blending untuk meningkatkan kualitas solar pada umumnya. Produk cair dari sintesa Fischer-Tropsch ini sangat sesuai untuk digunakan pada kendaraan dengan fuel cell.
Namun, penerapan teknologi ini membutuhkan biaya investasi yang sangat besar dengan pay back period sekitar 15-20 tahun. Perhitungan dilakukan berkaitan dengan feasibilitasnya untuk diterapkan di Indonesia, karenanya beberapa asumsi perhitungan juga disesuaikan dengan kondisi di Indonesia seperti bahan baku yang digunakan adalah tandan kosong sawit (TKS) dengan harga Rp 500,-/kg dan harga bahan bakar BTL ini sama dengan harga BBM di Indonesia tanpa subsidi (berarti sekitar Rp10.000 untuk bensin dan Rp8.000 untuk solar). Perhitungan dilakukan tanpa mempertimbangkan nilai suku bunga yang berlaku, karena pabrik tidak mengalami keuntungan jika suku bunga diterapkan.
http://green.kompasiana.com/group/limbah/2010/07/13/biomass-dan-sampah-organik-timbunan-emas-hijau-yang-mulai-dilirik-industri/
Tidak bisa dipungkiri, teknologi masa depan haruslah teknologi berwawasan ramah lingkungan dan berkelanjutan. Ketika para ilmuwan mencoba menjelajah hingga titik terjauh dari batas-batas teknologi yang bisa diwujudkan, (teknologi ruang angkasa maupun teknologi nano), tetap saja ekplorasi terhadap teknologi yang berorientasi “kembali ke alam” mampu menarik minat ribuan ilmuwan bahkan kini muncul istilah “green and sustainable technology” alias teknologi yang ramah lingkungan dan berkesinambungan dan “renewable energy” alias energi terbarukan. Salah satu teknolgi hijau yang kiranya paling layak diterapkan di negara berkembang dan berpenduduk banyak dengan sumber daya bahan alam yang demikian melimpah (tentu saja Indonesia memenuhi kriteria tersebut), adalah teknologi pemanfaatan biomass.
Apakah itu biomass?
Secara gamblang biomass adalah material yang berasal dari tumbuhan maupun hewan termasuk manusia. Namun biomass dalam sudut pandang industri juga berarti material biologis yang bisa diubah menjadi sumber energi atau material industri. Kita katakan mereka sebagai material organik atau biologis karena sebagian besar komposisinya mengandung atom karbon, hidrogen, oksigen maupun nitrogen dan dihasilkan oleh proses biologis, misalnya hasil pertanian, perkebunan, sampah organik, limbah cair pembuatan tahu, limbah padat dan cair penggilingan tebu, feses hewan ternak dan sebagainya.
Pada prinsipnya biomass sudah mengandung energi potensial yang dapat diubah menjadi berbagai macam energi lain, misalnya energi panas. Hasil proses pembakaran biomass dapat dimanfaatkan untuk memanaskan air yang kemudian menghasilkan uap untuk menggerakkan turbin pembangkit tenaga listrik. Membakar biomass bukan salah satu cara terbaik menghasilkan energi panas karena dampak langsung yang dihasilkan dari pembakaran biomass tidak baik untuk lingkungan dan efisiensi energi yang dihasilkan tidaklah demikian besar akibat dari pembakaran tidak sempurna. Maka perlu dipikirkan cara untuk mendapatkan sumber energi yang efisien dengan cara mengolah biomass. Gas methan atau biogas merupakan gas yang dihasilkan dari proses pembusukan material organik, methanol maupun ethanol dapat dihasilkan dari proses fermentasi produk pertanian yang memiliki kandungan karbohidrat tinggi, misalnya jagung dan kentang. Sementara itu minyak yang dihasilkan dari segala macam bijian-bijian yang dapat dimakan, minyak kelapa maupun minyak tanaman jarak, tanaman sorgum, bahkan minyak jelantah dapat diubah menjadi bahan bakar mesin diesel dan disebut sebagai biodiesel.
Biomass tidak melulu digunakan sebagai material penghasil energi, namun dia juga dimanfaatkan untuk menghasilkan bahan baku antara (intermediate) yang nantinya diubah menjadi material industri. Kita mengenal plastik merupakan hasil proses polimerisasi senyawa hidrokarbon dari minyak dan gas bumi. Gas methan, methanol dan ethanol yang dihasilkan dari biomass juga dapat diubah menjadi plastik melalui berbagai macam proses kimiawi (polimerisasi). Surfaktan untuk deterjen atau pelumas bisa dihasilkan dari minyak kelapa. Chitosan yang diekstrak dari limbah perikanan bisa diubah menjadi polimer yang dapat dimakan (edible polymer) atau bahkan sebagai polimer untuk proses industri, misalnya polimer membran untuk memisahkan berbagai macam gas. Biomass yang juga merupakan sumber bahan pangan pokok (feedstock), misalnya tepung jagung, bisa diubah menjadi material bernilai tambah (added value material) menjadi senyawa aditif dalam teknologi pangan, misalnya sorbitol (salah satu jenis gula diet). Lebih jauh lagi, limbah padat misalnya tandan kelapa sawit, ampas penggilingan tebu, atau serat enceng gondok dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pembuatan bahan bangunan (multipleks, panel, atau komposit serat-plastik). Sampah pangan dan produk pertanian bisa langsung dimanfaatkan sebagai material pembuatan kompos untuk pertanian organik, sebuah cara bercocok tani yang tidak menggunakan zat penyubur dan pembasmi hama sintetis. Dari segala macam contoh sederhana di atas dengan sudut pandang pengembangan teknologi berwawasan ramah lingkungan, yang paling menarik dan menggugah minat industri besar adalah mengubah biomass menjadi material sumber energi dan senyawa kimia antara. Sedangkan mengubah biomass menjadi aditif bahan pangan, material pendukung pertanian atau material rumah tangga tampaknya lebih sesuai bagi kalangan industri kecil dan menengah.
Secuplik kisah teknik kimia dan industri menyelamatkan lingkungan dan swadaya energi - Pemanfaatan biomass sebagai sumber energi
Gembar gembor tentang pemanasan global gemanya semakin digaungkan dengan telah diselenggarakannya pertemuan tingkat dunia yang membahas pemanasan global di Bali pada bulan Desember 3 – 14 atas prakarsa UN Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), Semangat langkah penyelamatan bumi dari pemanasan global dan perubahan iklim yang ektrim kini bukan lagi menjadi isyu di tataran negara-negara maju namun telah menjadi isyu lokal di bebagai pelosok dunia. Tanggung jawab terbesar tentunya ditekankan pada kalangan industri yang menjadi kontributor utama penghasil gas-gas rumah kaca. Berikut ini adalah kutipan dari Kompas Cybermedia, rubrik Iptek, 01 Oktober 2007 yang berjudul Listrik dari Limbah Tapioka.
Berkat teknologi, dua pabrik tapioka di Lampung akan memenuhi kebutuhan energi listrik dari limbahnya sendiri. Proyek konversi energi ini tidak hanya akan akan mengurangi ketergantungan pada sumber energi fosil tapi juga akan mengurangi gas rumah kaca.
Setiap tahunnya, teknologi pencerna anaerob (anaerob digester) yang dipasang di kedua pabrik milik PT Budi Acid Jaya Tbk.di Way Jepara dan Unit 6 itu akan mengolah seluruh limbah cair sehingga menghasilkan 4.500 ton gas metan. Selanjutnya gas metan akan digunakan untuk memberikan energi kepada generator tenaga gas yang menghasilkan listrik bagi kedua pabrik tersebut.
Energi yang dihasilkan dari arus limbah cair ini akan memberikan daya listrik pada pabrik kami dan mengurangi ketergantungan kami pada bahan bakar fosil, kata Presiden Direktur PT BAJ Santoso Winata. Ia mengatakan alat digester di samping mengurangi bau juga akan memberikan sumber energi terbarukan yang akan mengurangi biaya operasional pabrik secara keseluruhan.
Alat digester yang akan diregistrasi pada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) sebagai bagian Protokol Kyoto, adalah salah satu dari banyak proyek yang dikembangkan Cargill di Indonesia. Teknologi dalam proyek ini tidak hanya menyediakan energi dari sumber energi alternatif tapi juga akan menghasilkan kredit karbon yang dapat diperjualbelikan pada pasar iklim global.
Untuk dua proyek saja, diperkirakan akan mengurangi emisi yang setara dengan 950.000 ton karbon dioksida yang dilepaskan ke atmosfer dalam periode 10 tahun.
Tentang anaerobic digester [1]
Anaerobic digester merupakan suatu proses bioteknologi yang dapat mengubah limbah biologis misalnya manure (kotoran hewan ternak), limbah pengolahan bahan pangan maupun limbah produk pertanian dengan cara mencerna, mendegradasi limbah tadi menggunakan bantuan mikroba menjadi produk yang mengandung senyawa karbon paling sederhana misalnya biogas (methan). Sebagaimana diistilahkan “anaerob”, maka proses pencernaan berlangsung tanpa melibatkan atau meminimalkan kehadiran udara (lebih tepatnya oksigen) menyerupai proses fermentasi ketan menjadi tape dengan bantuan ragi.
http://www.indobiofuel.com/menu%20biodiesel%20artikel%2018.php
Oleh karena keterbatasan sumber energi dan juga karena kerusakan lingkungan hidup yang terjadi di mana-mana dan terus berlanjut, pada akhir tahun 1970-an minyak nabati di Eropa telah digunakan sebagai bahan bakar motor diesel menggantikan minyak solar. Namun karena masalah teknis yang sulit diatasi, sekalipun dengan memodifikasi motor yang akhirnya hanya menambah biaya, minyak nabati kemudian diolah menjadi biodiesel dan mulai dikembangkan sejak pertengahan tahun 1980-an. Terutama di Jerman dan Austria, biodiesel diproduksi dari minyak rapeseed.
Akan tetapi, sampai pertengahan tahun 1990-an produksi biodiesel dari rapeseed di Jerman dinilai masih belum ekonomis. Tanpa subsidi dari pemerintah, biodiesel di Jerman tidak mampu bersaing dengan minyak solar (yang sebenarnya sudah kena pajak hampir 200 persen). Sejak itu, mulailah dikembangkan biodiesel dari minyak jelantah dan dari sisa lemak hewani.
Perkembangan biodiesel dari minyak jelantah semakin pesat dengan dilarangnya pemakaian minyak jelantah untuk campuran pakan ternak, karena sifatnya yang karsinogenik. Sekarang biodiesel dari minyak jelantah telah di produksi di mana-mana di negara Eropa, Amerika dan Jepang. Biodiesel dari minyak jelantah di Austria dikenal dengan nama AME (Altfett Methyl Ester), sedang di Jerman selain dikenal dengan AME juga mendapat nama Frittendiesel atau Ecodiesel, sedang di Jepang dikenal dengan e-oil.
Sementara di Indonesia, pemanfaatan minyak jelantah masih dinilai kontraversial. Sampai saat ini sebagian minyak jelantah dari perusahaan besar dijual ke pedagang kaki lima dan kemudian digunakan untuk menggoreng makanan dagangannya dan sebagian lain hilang begitu saja ke saluran pembuangan. Bila ditinjau dari komposisi kimianya, minyak jelantah mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik, yang terjadi selama proses penggorengan. Jadi jelas bahwa pemakaian minyak jelantah yang berkelanjutan dapat merusak kesehatan manusia dan akibat selanjutnya dapat mengurangi kecerdasan generasi berikutnya.
Teknologi transesterifikasi
Pada prinsipnya, proses transesterifikasi adalah mengeluarkan gliserin dari minyak dan mereaksikan asam lemak bebasnya dengan alkohol (misalnya metanol) menjadi alkohol ester (Fatty Acid Methyl Ester/FAME), atau biodiesel. Teknologi yang digunakan dalam proyek ini adalah metode transesterifikasi sederhana dua tahap dengan sistem "batch" yang telah dioptimasikan dan telah diuji (Anggraini Suess, 1999).
Transesterifikasi dilakukan dengan mencampur minyak jelantah dengan metanol dengan menggunakan katalisator KOH. Proses transesterifikasi berlangsung selama 1/2-1 jam pada suhu sekitar 400 C. Campuran yang terjadi kemudian didiamkan sehingga terbentuk dua lapisan, yaitu lapisan bawah adalah gliserin dan lapisan atas metil ester (biodiesel). Agar reaksi berlangsung sempurna, maka biodiesel hasil dari tahap pertama kemudian direaksikan lagi dengan metanol (tahap kedua). Hal ini untuk mengantisipasi kandungan gliserin total (bebas dan terikat) dalam biodiesel, supaya tidak terjadi deposit pada motor.
Karakteristik biodiesel
Dari Tabel 1 terlihat bahwa sifat-sifat ester dari minyak jelantah (AME) tidak berbeda jauh dari sifat biodiesel dari minyak baru dan juga dari sifat minyak solar, kecuali kemampuan untuk disaring (CFPP) yang tinggi, karena titik bekunya yang tinggi. Hal ini dapat mempengaruhi penggunaannya terutama pada saat musim dingin. Tingginya titik beku ini disebabkan oleh tingginya kandungan asam lemak jenuh (mempunyai ikatan rangkap tunggal) dan terlihat dari rendahnya angka iod yang dibawah nilai standard. Berbeda dengan standard FAME yang terbuat dari minyak nabati baru, ester minyak jelantah ini mengandung banyak senyawa peroksida sebagai hasil reaksi dalam proses penggorengan. Namun, secara umum dapat dikatakan bahwa AME dapat digunakan sebagai bahan bakar motor diesel.
Pengujian AME
Pengujian motor dengan tiga jenis bahan bakar, yaitu biodiesel dari minyak jelantah (AME), biodiesel dari minyak rapeseed (RME) dan solar, dapat memberikan gambaran lebih detail mengenai kecocokan AME sebagai bahan bakar motor diesel serta dapat menunjukkan kelebihan dan kekurangan biodiesel pada umumnya. Motor yang digunakan adalah motor diesel satu silinder, 4 Tak, dan direct injection, yang diproduksi oleh perusahaan Farymann.
Hasilnya menunjukkan bahwa torsi yang dihasilkan dari ketiga jenis bahan bakar tidak menunjukkan perbedaan yang berarti. Keunggulan AME dan RME terlihat pada RPM rendah dan menengah. Pada tingkat RPM yang tinggi (diatas 2800), torsi yang dihasilkan solar berbeda nyata dari kedua jenis biodiesel. Hal serupa juga ditunjukkan oleh kurva daya motor. Tingginya daya dari minyak solar pada RPM tinggi terutama disebabkan oleh kandungan kalori minyak solar yang tinggi dan titik nyala yang rendah. Rendahnya titik nyala menyebabkan bahan bakar lebih mudah terbakar dan perambatan api yang lebih cepat. Faktor kecepatan pembakaran ini terlihat jelas terutama pada RPM yang lebih tinggi.
Perbandingan konsumsi bahan bakar menunjukkan, bahwa secara keseluruhan konsumsi biodiesel 10 persen lebih tinggi dari konsumsi solar. Hal ini disebabkan selain oleh kandungan energi yang rendah juga oleh berat jenisnya. Kandungan energi per massa dari AME (36,5 MJ/kg) tidak berbeda jauh dari RME (37,1 MJ/kg), tetapi sekitar 15 persen lebih rendah dari solar (42,7 MJ/kg). Namun, masuknya bahan bakar ke dalam motor dihitung secara volumetris, maka perbedaan antara biodiesel dan solar menjadi lebih kecil.
Gas buang dari pembakaran AME, RME dan minyak solar menunjukkan kelebihan AME dalam hal emisi NO yang sekitar 6 persen lebih rendah dari RME dan solar (1.070 ppm). Namun emisi CO dari AME (209 ppm) sekitar 25 ppm lebih tinggi dari RME dan solar, atau sekitar 12 persen. Perbedaan yang sangat menyolok terjadi pada emisi CxHy dan partikulat/debu.
Minyak solar menghasilkan gas buang dengan kandungan karbonhidrat tak terbakar yang tertinggi (18,4 ppm), sementara AME hanya 13,7 ppm atau sekitar 25 persen lebih rendah dari solar dan bahkan RME 52 persen lebih rendah (8,8 ppm). Emisi partikulat/debu dari AME-yang diukur dengan derajat kekeruhan gas buang-sebesar 0,5 dan RME 0,56 berarti sekitar 46 persen dan 40 persen lebih rendah dari minyak solar (0,93). Kelebihan lain yang lebih menyolok yaitu bahwa biodiesel tidak mengandung belerang sehingga dalam pembakarannya tidak menimbulkan emisi SO2.
On road test
Pengujian AME di lapangan dengan delapan kendaraan bermotor yang umurnya kurang dari dua tahun (4 mobil opel corsa-B 1,5l dan 4 mobil VW T4 2,4l) hanya menggunakan AME dan solar. Semua mobil VW sudah dirancang sesuai dengan biodiesel standar Jerman (Vornorm DIN V 51606), sementara semua mobil opel tidak mendapat lisensi untuk pemakaian dengan biodiesel.
Pengalaman dalam pemakaian RME menunjukkan bahwa pergantian dari bahan bakar solar ke biodiesel dapat menyebabkan penyumbatan saringan bahan bakar. Hal ini karena biodiesel dapat melarutkan kerak dalam tangki dan dalam saluran bahan bakar yang disebabkan oleh endapan kotoran-kotoran dari minyak solar sebelumnya. Kerak yang larut ini selanjutnya akan menyumbat saringan bahan bakar. Agar tidak terjadi kemacetan selama uji lapangan, saringan bahan bakar diganti setelah dua kali pengisian dengan biodiesel. Dari hasil pemeriksaan saringan bahan bakar, ternyata tidak ditemukan endapan kerak dalam filter yang berarti. Mungkin hal ini karena semua kendaraan masih berusia muda, sehingga belum terkumpul kerak yang tebal.
Selama waktu pengujian, semua kendaraan berjalan tanpa hambatan. Namun, kandungan kalori AME yang lebih kecil dari minyak solar, konsumsi bahan bakar AME lebih tinggi dari konsumsi minyak solar (Tabel 2). Berdasarkan jenis kendaraan yang digunakan, rata-rata pertambahan konsumsi bahan bakar pada mobil VW T4 sebesar 9,6 persen dan pada opel corsa 16,2 persen. Sedangkan penurunan daya dirasakan hanya pada tanjakan, selebihnya tidak dirasakan adanya perbedaan. Hasil uji gas buang menunjukkan keunggulan AME dibanding solar, terutama penurunan partikulat/debu sebanyak 65 persen.
Dengan demikian, dalam rangka mencari energi alternatif yang ekologis, ternyata minyak jelantah dapat diandalkan. Pemanfaatan minyak jelantah sebagai bahan bakar motor diesel merupakan suatu cara pembuangan minyak jelantah yang menghasilkan nilai ekonomis serta menciptakan bahan bakar alternatif pengganti bahan bakar solar yang bersifat ethis, ekonomis, dan sekaligus ekologis.
semoga manfaat
Bahan OSN pti Pertamina 2010
Posting by
Anna Al Choirunnisa
|
Labels:
Semester 3
/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)






0 comments:
Posting Komentar