RSS

Berawal dari Kesalahpahaman (Part 1)

Kedatangan gadis ini membuat Arei bingung, setelah yang terjadi 3 tahun yang lalu, mesti samar-samar tapi Arei masih ingat. Sang gadis tidak menatap Arei, hanya menundukkan kepala sambil tetap berdiri. Arei yang tidak cukup mengerti maksud kedatangannya ini hanya memalingkan wajah angkuh. Sepoi-sepoi angin yang menggelitik menyapa dedaunan di taman depan. Keduanya tetap diam di tempat, tak ada yang mulai berbicara.

Arei menatap pintu depan, ingatannya menerka pada kejadian 3 tahun yang lalu. Ya, pintu itu adalah awal mula segalanya. Ia ingat betul, dari pintu tersebut ia melihat Ayah dan Bundanya keluar sambil menangis terisak. Padahal ia kebetulan sedang jalan bersama Fahmi, teman dari semasa ia kecil, yang sedang pindahan rumah kemarin. Arei membantunya mengepaki beberapa barang milik Fahmi dengan Hammer-nya saat itu. Mereka berdua adalah sahabat karib sampai kapan pun, meski keduanya saat itu berada pada perguruan tinggi yang berbeda.

Ia memberi aba-aba kepada Fahmi untuk berhenti, kemudian matanya menatap lekat ke arah Ibunda yang tengah terisak. Ia tertegun sambil membatin mengapa Ibundanya ada di sini, bukannya mereka sedang di jakarta? Arei menatap Fahmi dan berharap penuh temannya ini dapat menjawab semua tanya di hatinya. Namun Fahmi hanya menggeleng, bahkan mengisyaratkan agar mereka berdua tidak usah bersembunyi di balik semak seperti ini, isyarat disertai dengan berbisik “Langsung saja kita ke sana, Rei..” spontan Arei memelototi Fahmi, bagaimana mungkin ia tiba-tiba muncul di sana, dan kemudian dengan sedikit konyol berteriak “Surprise!”. Ada-ada saja temannya ini.

“Hai!” sapaan gadis itu memotong lamunan Arei. Mengejutkan karena hampir saja ia yang sedang mengunyah permen karet itu tersedak, cukup berdiam beberapa detik untuk menahan amarahnya meluap. Gadis itu masih berdiri dan tetap menundukkan wajahnya. Arei sedikit melirik ke arah sumber suara tadi sambil tersenyum sinis, sebentar ia kembali memalingkan wajah. Tak ada kontak mata di antara keduanya.

Arei kembali menggali ingatannya yang terdalam. Kata sapaan yang sama, orang yang sama, lirik yang sama, dan suara khas yang sama. “Hai!” Arei dan Fahmi menoleh kebelakang. Seorang gadis tersenyum, “Kalian sedang apa di sini? Mengintip apa sih?” gadis yang ditemui Arei kemarin sore tiba-tiba berdiri di depannya. Arei gugup dan salah tingkah saat itu, moment yang kurang pas karena ia kepergok sedang mengintip. Arei menoleh ke sampingnya sekilas, bersikut tangan dengan Fahmi dan menyuruhnya untuk menjawab tanya gadis itu.

“Eh, Mindia. Ini Arei lagi pengen lihat-lihat tanaman, itu banyak yang bagus yah, syukur-syukur bisa dibawa buat ditanam di kota. Hehehe” Jawab Fahmi sekenanya. Ia kembali melirik Arei.

“Iya bener… Mindia sendiri lagi apa di sini?” Arei mengalihkan pertanyaan kepada Mindia. Namun saat itu Mindia fokus memandangi taman di depan rumahnya.

“Eh, maaf ya, aku ada perlu sesuatu. Aku duluan ya, Fahmi, Arei...” ucapnya pamit dengan kedua laki-laki di hadapannya. Kemudian ia berlari pelan menuju taman depan sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam jilbab. Entah apa yang dilakukannya, karena memang tidak terlihat jelas dari belakang. Baik Fahmi maupun Arei tidak tahu tentang itu. Mindia hanya berlari kecil, hingga akhirnya, pelan tapi pasti, terdengar Mindia berucap, “Bunda… Ayah...” dan dalam hitungan detik, Arei dengan matanya menyaksikan bahwa seorang gadis yang baru dikenalnya kemarin, kini tengah memeluk erat Bundanya. Mata Arei menatap tanpa kedip dan penuh tanya.

Rasanya panas mengingat kejadiaan tersebut. Ia kemudian mencoba untuk memahami keadaan sekitar, memusatkan pikiran pada masa sekarang. Arei memalingkan wajah pada gadis berjilbab di depannya ini. “Ibu bapak sedang tidak ada.” cukup lama berpikir untuk mengucapkan lima kata ini dan berharap si gadis yang masih berdiri sambil menunduk ini mengerti akan maksudnya.

“Aku… Mencarimu… Bukan mereka… Emmmm… Kupikir... Semestinya kita harus berbicara.” Si gadis cukup gugup untuk berbicara di hadapan Arei, terlebih ada rasa takut dalam hatinya. Ia mengangkat wajahnya sekilas memastikan apakah lawan bicaranya ini meresponnya, namun Arei tetap memalingkan wajah seperti tak peduli. Ia kembali menunduk, merasakan sedikit hawa yang kurang bersahabat saat itu, Arei mungkin terlihat seperti ingin marah padanya.

“Maaf. Aku sibuk.” Arei jelas sangat mengerti akan kedatangannya ini, jelas bukan Ayah dan Ibu yang ia cari, tapi dirinya. Gadis itu sudah cukup sering menelepon ke rumah untuk sekedar mengobrol dengan orang tuanya, atau mungkin terkadang mereka bertemu, namun Arei tidak peduli hal itu. Dan tiga tahun terakhir ini, ia tak pernah bertemu gadis ini, ia benar-benar tak ingin, ego menentangnya untuk mendengarkan pembelaan dari gadis ini.

“Kalau kau sibuk, bolehkah aku meminta nomer handphone-mu? Aku akan menghubungimu nanti.” Arei tersenyum sinis, ini jelas omong kosong dan basa-basi dalam pikirannya. Apabila ia meminta nomor hape, tak perlu datang jauh-jauh kemari, cukup dengan bertanya pada Ibu pasti gadis ini akan diberitahu, bukankah hubungan mereka sangat dekat? Dan Arei pikir tak ada perlunya untuk berbicara dengan gadis ini. Ia sudah cukup sakit hati akan masa lalu itu, cukup sudah.

“Silahkan saudari Mindia Fardenan bertanya pada Ibuku nanti. Permisi.” Arei berucap ketus tanpa menatap gadis yang bernama Mindia itu. Ia melangkahkan kakinya ke arah pintu rumah dengan perlahan tanpa menoleh ke belakang. Arei merasa jawabannya terakhir sudah cukup jelas bahwa ia tidak suka dengan kehadiran Mindia yang tiba-tiba itu, hatinya cukup panas dengan kejadiaan yang lalu. Meskipun itu sudah lama sekali terjadi.

“Arei, tolong jangan menghindar lagi. Ini tak kan berakhir kalau kau terus seperti ini.” Mindia merasa ingin menangis di tempat, namun ia berusaha menahan itu. Melihat Arei yang hanya berdiri diam di tempat dan membelakanginya, Mindia pun kemudian melakukan hal yang sama. Ia membalikkkan badannya dan berlari untuk pulang, rasanya ini bukan hari yang tepat untuk menjelaskannya. Mungkin Arei perlu waktu untuk berpikir, situasinya terlihat kurang baik.

Arei menoleh ke belakang dan ingin mengucapkan sesuatu, namun tertahan oleh keegoisannya hingga saat ini. Ia menatap sendu Mindia yang berlari kecil menuju sebuah mobil. Rasanya seperti baru kemarin kejadian tiga tahun silam itu hadir, rasa perihnya tak terkira. Ia berargumen bahwa obat untuk menyembuhkan rasa sakitnya tak akan pernah bisa dibayar oleh apapun. Ada sedikit rasa sesal karena telah berpura-pura sedang sibuk, namun ia tepis sesal itu untuk mempertahankan prinsipnya. Ada rasa penasaran karena ia ingin tahu apa yang hendak diberitahu oleh Mindia kepada Arei, padahal ia rasa semua sudah berakhir.
***

To be countinued... Berawal dari Kesalahpahaman (Part 2)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Jadilah SaMoNa (Sahabat Mom Anna)