RSS
Tampilkan postingan dengan label Novelet dan Cerpen. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Novelet dan Cerpen. Tampilkan semua postingan

Berawal dari Kesalahpahaman (Part 5)

Lanjutan kisah Berawal dari Kesalahpahaman (Part 4)

“Iya jelas, aku tidak akan pacaran dengan siapa pun. Kamu bisa jadi saksi kalau aku melanggar.” Mindia tersenyum miris, ia brharap semoga Arei bukanlah seperti laki-laki yang suka sembarangan mengajak pacaran. “Tapi…”

“Kenapa?” tannya Fahmi.

“Apa Arei, pernah pacaran?” Mindia menunduk dalam, ia berharap mendengar jawaban “never”
dari mulut Fahmi. Bissmillaah..

“Sebentar aku ingat-ingat dulu. Berapa kali ya…” Mindia kaget, dia mengarah pandangan ke Fahmi, laki-laki itu terlihat serius berpikir. Maksudnya apa ini? Berapa kali? Astagfirulloh… Mindia geleng-geleng kepala dan berharap ini hanya mimpi. “Oh ya, 11 kali.” Fahmi menambahkan.

Naudzubillah, jangankan sebelas kali. Satu kali pun Mindia sudah menganggap buruk laki-laki yang dikaguminya itu. Ia beristigfar mohon ampun, bagaimana mungkin ia menyukai seorang yang sudah sebelas kali berpacaran tersebut. Ada luka yang tajam menggores hati Mindia, ia benar-benar tidak menyangka akan hal itu. “Oh… Begitu…” hanya itu yang mampu ia ucapkan.

“Ya. Sebelas kali Arei ditembak oleh beberapa gadis, tapi ditolak semuanya. Dia tidak pernah pacaran. Dan kamu tahu, Arei tidak akan pernah mau berpacaran. Kalaupun terpaksa harus pacaran, maka besok langsung dinikahinya gadis itu, itu katanya sih.” Hampir saja Mindia meledakkan tangis apabila tidak mendengar kalimat yang terakhir itu dari Fahmi. Ia kembali tersenyum pahit memberikan pernyataan ini.

“Fahmi, kamu kalau ngomong yang jelas. Aku hampir syok... dan juga sempat suudzon, tadi…” ucap Mindia berterus terang. Ia tersenyum lega.

“Hehehe.” Fahmi hanya tertawa hambar. “Oh ya, aku datang bersama dengan Arei ke sini.” Jelas Fahmi.

“Oh ya? Arei ke sini? Di mana dia sekarang?” Mindia memandang ruang tamu yang sangat luas itu. Ia tidak menemukan keberadaan Arei, hanya beberapa pelayan yang berada di ujung pintu.

“Dia sedang menemui Om Fardenan, ayahmu…” jawab Fahmi. “Ia sudah tahu segalanya, tapi
bukan aku yang memberitahu, loh” terang Fahmi segera, takut Mindia menyangka ia yang telah membocorkan rahasia mereka.

“Alhamdulillah… Aku senang dia akhirnya menemui Ayah…” ucap Mindia lega.

“Iya, sepertinya akan akur kembali, aku juga sebenarnya merasa tidak nyaman merahasiakan ini dari Arei, dia terlalu banyak berbuat baik untukku. Tapi aku malah…”

“Maafkan aku, Fahmi. Kalau saja aku tidak merahasiakan hal ini tentu tidak akan selama ini kesalahpahaman tidak berlanjut lama. Aku selama ini hanya berpikir ingin menjelaskan semuanya sendiri pada Fahmi, supaya ia lebih percaya. Tapi…”

“Sudahlah, yang penting sekarang kan semuanya sudah jelas.” Hibur Fahmi. “Oh ya, jadi ingat waktu SMA dulu. Hmmm, di rumah ini juga. Tante selalu saja mengingatkanku supaya Arei jangan sampai naksir dengan wanita lain, karena ia sudah dijodohkan.” Tante adalah panggilannya untuk Nyonya Fardenan.

“Dijodohkan? Dengan siapa?” kembali rasanya hati Mindia retak. Ternyata Arei selama ini…

“Dengan…”

“Fahmi… Hei, aku pinjam Mindia-mu sebentar, boleh?” teriak Arei dari kejauhan sambil berlari pelan.

Mindia dag dig dug. Kenapa Arei harus mengatakan kata ”Mindia-mu” seperti itu, membuat Mindia menjadi sakit mendengarnya. Fahmi hanya mengangguk. “Baik!” ucapnya lirih. Kemudian meninggalkan ruang tamu. Mindia merasa aneh, mengapa Fahmi sama sekali tidak memberikan perlawanan, paling tidak meluruskan kesalahpahaman yang sudah terjadi ini.

“Arei…” Mindia langsung tertunduk. Perasaannya campur aduk, antara senang sekaligus bimbang.

“Aku, benar-benar minta maaf, Ibu baru saja memberiku diari itu.” Ah, diari itu, ada kesalahpahaman di sana tentang mereka, Mindia menjadi galau. “Seandainya aku berusaha untuk mendengarkanmu, pasti tidak akan ada salah paham ini. Mindia.. Maafkan aku…” Kembali Arei tertunduk. Baginya ini merupakan kesalahan terberat. Ia sudah menerima kesalahan Tuan dan Nyonya Fardenan, yang dulu ia panggil Ayah dan Bunda. “Aku tahu, padahal kamu yang berada di posisi terberat, bahkan aku baru saja menyadarinya.”

“Arei… Tidak apa-apa. Aku juga meminta maaf, seandainya aku bisa menyampaikan ini langsung tanpa harus melalui perantara diari itu.” Ah, semua sudah berlalu. Ia sangat ingin segara menjelaskan kesalahpahaman dalam diari itu, supaya tidak muncul kesalahpahaman berikutnya, tapi sulit baginya berkata apa-apa. Lidahnya kelu.

“Terima kasih, Mindia… Tapi aku pun salah karena dulu tidak ingin mendengar apapun darimu. Maaf… Aku terlalu egois.” Arei lega karena semuanya sudah terungkapkan, hanya saja perasaannya yang tidak mungkin ia sampaikan. Sulit dan terasa kurang menyenangkan, karena ia yakin bertepuk sebelah tangan. “Besok… Kamu balik ke Jepang? Ibu yang bilang.” Lanjutnya mengalihkan pembicaraan.

“Oh ya, hanya seminggu. Aku akan wisuda.”

“Wisuda? Bukannya operasi juga?” Tanya Arei menyelidik.

“Bukan, operasi sudah 2 tahun yang lalu. Ibu juga ikut mengantar ke bandara saat itu. Memangnya, kamu tahu darimana?” Arei kaget. Jelas ada kesalahpahaman lagi, ia merasa ibu mengatakan bahwa Mindia akan operasi, tapi ya sudahlah… Ibu cukup bijak mengatakan hal ini, karena apabila beliau hanya bilang wisuda, sudah pasti Arei tidak tergelitik hatinya untuk datang kemari.

“Aku salah dengar mungkin… Syukurlah kalau begitu.” Jawabnya lirih.

“Mungkin kamu juga perlu operasi. Kok bisa salah dengar, hehehe!” Mindia berusaha tersenyum mangajak barcanda, mencairkan suasana hati yang sangat panas terasa.

“Yea… Boleh, deh… Ayo, antar aku ke Jepang… Hehehe.” Sesaat Arei bingung dengan maksud arah pembicaraannya ini. “Oh ya, gimana dengan Mr. D?” tiba-tiba Mindia berhenti tertawa. Keduanya sama-sama gugup. Tuan dan Nyonya Fardenan datang bersamaan dengan Fahmi. “Eh, kami sedang mengobrol, Ayah… Eh, tuan Far…” Arei merasa bingung hendak memanggil apa baiknya orang tua yang sudah merawatnya selama dua puluh tahun ini.

“Arei, kami sampai kapan pun adalah ayah dan ibundamu, tidak akan berubah. Jangan merubah panggilan, nak!” potong Tuan Fardenan.

“Oh ya, Ayah… Kita punya kabar gembira untuk Arei dan Mindia.” Bunda tersenyum sambil melirik Fahmi, memberinya kode.

“Iya, om. Sampaikan kabar gembiranya!” ucap Fahmi sambil tersenyum ramah. Ia sangat gugup akan hal ini, tapi ia rasa ini yang terbaik.

“Oh, iya. Dengarkan baik-baik, sebentar lagi Mindia akan menikah setelah wisuda.” ucap Ayah sambil tersenyum. Mindia tertunduk, perasaannya tidak nyaman.

Arei tersenyum kecut, ia sudah tahu akan hal ini. Pasti Fahmi sudah melamar pada Ayah sesaat ia mengobrol dengan Mindia tadi, ia yakin Fahmi sudah tahu bahwa Mindia menyukainya, dari diari itu. Namun ia harus berusaha tenang, seperti tidak terjadi apa-apa, ia mengucapkan, “Wah.. Selamat ya, Mindi…” namun Mindia hanya tersenyum hambar. Arei sudah pasti panas, namun ia berusaha mancairkan suasana, sambil bercanda, “Tapi masa ngeduluin aku, Yah? Gimana ini. Hmmm…”

“Siapa bilang ngeduluin? Kalian nikah bareng…” Maksudnya? Masih ambigu untuk dimengerti, nikah di hari yang sama, maksudnya? Mindia semakin menunduk, itu bahkan akan memperparah keadaan. Bagaimana mungkin kedua insane yang saling menyukai harus menikah ddi hari yang sama dengan pasangan yang berbeda.

“Bareng gimana, Bun?” Mindia melirik ibunya sekilas. Fahmi mulai menyadari ketidaknyaman di antara mereka berdua ini.

“Loh, kalian berdua ini sudah dijodohkan dari kecil.” Jawab ibunya.

“Apa?” Mindia dan Arei berbarengan menjawab. Ada senyum merekah yang muncul di hati keduanya. Terlebih Arei yang terkejut, antara senang dan bimbang. Mindia tidak dapat menahan malu, jelas langsung berlari menghindar, bersembunyi dibalik dinding, ia tidak mau siapa pun melihat wajahnya yang sangat merah ketika itu.

Arei yang tadinya sangat bahagia mendengar hal itu, mendadak mengerti akan situsasi ini, parginya Mindia merupakan jawaban yang cukup mudah dimengerti bahwa ia menolak perjodohan ini. Arei menatap Fahmi yang iya tahu bahwa Fahmi sedang berusaha untuk tersenyum ramah, berpura-pura tak sakit. Ia pun memberanikan diri untuk mengeluarkan suara, harus ada yang berbicara.

“Maaf Ayah, Bunda… Nareihan bukan bermaksud menolak, tapi Arei tidak bisa menerima perjodohan ini, karena Arei akan melamar gadis yang ingin Arei jadikan istri. Dan mungkin begitu dengan Mindia, ia berhak menyukai seseorang dan orang itu bukan Arei. Maaf Yah, Bunda…” berat rasanya mengucapkan itu, tapi lebih berat lagi menghadapi kenyataan bahwa Mindia lah yang lebih dulu menghindar, sakit rasanaya. Fahmi serasa bersalah, amat bersalah.

Fahmi menatap tajam pada Arei, ia tak menyangka akan seperti itu. Terlebih Tuan dan Nyonya Fardenan hanya saling memandang heran, kenapa bisa menjadi seperti ini. Di sudut sana, Mindia yang sedari tadi mengintip, langsung terduduk lemas. Ia ditolak, dan ia tidak bisa melakukan apapun, ia pasrah dengan dibanjiri air mata. Ia mengira bahwa mungkin Arei memang tidak memiliki perasaan yang sama seperti dirinya.

Hanya Fahmi yang paling tahu detail, kesalahpahaman ini menjadi lebih besar, bumerang derita bagi insan dan keduanya terkena sakit yang amat nyeri. “Om, Tante, Arei, dan juga Mindia… Saya meminta maaf akan hal ini. Saya akan menjelaskan semuanya… Supaya tidak ada salah paham…”
***

10 tahun kemudian

“Hayo,,, lagi mikirin apa, Bi?” Mindia menatap suaminya, sambil mengaduk gula di dalam secangkir teh.

“Eh. Enggak ada, Cuma mikir bagaimana kalau…” Suami itu menatap Mindia tajam. “Ah,
enggak jadi. Eh, mana tehnya, haus nih…” sambil mengambil secangkir teh buatan istrinya.

Tiba-tiba telepon rumah bordering. Mindia pun sigap untuk mengangkat telepon tersebut, kemudian berbicara sebentar. Kemudian wajahnya menjadi cerah, walau obrolan lewat telepon itu sangat singkat. Ia pun kembali ke meja makan mendatangi suaminya. “Tadi sahabat Abi yang nelpon. Dia sama istrinya mau balik ke Indonesia besok, katanya langsung mampir ke rumah.”

“Oh ya, Alhamdulillah… Betah sekali mereka di negeri orang.”

“Iya, untung bukan suami Mindi, ya… Untung aku nikahnya sama Abi, bukan sama dia.” jawab
Mindia bercanda.

“Wah, Umi nakal, ya… Kok gitu sih ngomongnya, cemburu nih Abi jadinya…” suami Mindi tiba-tiba mencubit pipinya.

“Aduh… Abi, sakit ah… Kan Cuma bercanda…” Mindi mengusap pipinya berulang kali.

“Makanya, Umi jangan gitu, lagi…” ucapnya sambil tertawa.

“Abi… Tadi lagi mikirin apa sih?” Tanya Mindia tiba-tiba. “Jangan dipendam gitu ah.
Ingat, jangan sampai ada kesalahpahaman lagi, ya.” Mindia mengingatkan, sambil mengenang masa lalu mereka.

“Hmmm… Abi cuma berpikir, gimana kalau kita nambah satu anak lagi…” canda suaminya sambil mengedipkan sebelah mata.

“Ahhh… Abi kok genit sih…” balas Mindia malu-malu.

“Tuh kan, malah jadi salah paham, masa sama istri sendiri dibilang genit.” Ucapnya sambil menyeruput teh.

“Umi… Raine nakal nih…” teriak si sulung.

“Abi… Deanda jahat nih, nyubit Nina…” teriak si bungsu.

Mindia memandang Nareihan suaminya yang juga memandangnya. Mereka saling pandang
kemudian tertawa lepas bersama.

(The End)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Berawal dari Kesalahpahaman (Part 4)

Lanjutan kisah Berawal dari Kesalahpahaman (Part 3)

Mindia sedang berkumpul dengan keluarga besarnya, yang ini mungkin akan terjadi sekali seumur hidup, jarang mereka berkumpul bersama seperti ini. Ia masih tidak percaya bahkan sedih, mengingat rasa yang nyaman saat ia berkumpul dengan keluarga yang dulu sederhana dan selalu bersama. Rasa kasih sayang pada Ibu Bapaknya kembali terniang, meski kemarin Mindia memang sudah bertemu keduanya untuk melepas rindu.

Arei dan Mindia tertukar dengan sengaja. Ayah Mindia ingin memiliki anak laki-laki agar kelak bisa meneruskan usahanya dan juga silsilah keluarga Fardenan, sedangkan saat itu Ny. Fardenan hanya bisa melahirkan sekali waktu karena saat setelah melahirkan Mindia putrinya yang pertamanya, ia harus mengangkat rahimnya kerana kanker.

Pada hari kelahiran yang sama, di ruang bangsal pada rumah sakit yang sama tersebut, ada seorang keluarga yang miskin yang tengah menunggu kelahiran anaknya. Saat itu, ayah Mindia meminta pada dokter yang menangani pasien tersebut. Kemudian menukar bayinya dengan bayi laki-laki yang sebentar lagi lahir itu, yang kemudian diberi nama Nareihan, tanpa memberitahu keluarganya sama sekali.

Semua berjalan lancar, hingga tiba-tiba setelah lima tahun kemudian, sang ayah merasa sangat bersalah karena ia malah menukarkan bayinya sendiri, dan malah hendak merawat anak orang lain. Oleh karena rasa bersalahnya, kemudian ia hanya bisa memberikan sejumlah uang kepada keluarga miskin itu rutin tiap bulannya, sambil menjenguknya sesekali ketika mereka merindukannya.

“Mindai… Siapkah untuk besok, sayang?” Tanya Bunda.

“Bun… Mindia siap, tapi…” ia hendak berterus terang…

“Tapi kenapa sayang? Apa masalah Nareihan?” Tanya bundanya memastikan.

“Permisi Nyonya, tuan muda datang bersama temannya.” Seorang pelayan mengenakan seragam oranye tiba-tiba menghampiri.

“Tuan muda?” Bunda terkejut mendengarnya. Tuan muda adalah sebutan untuk Arei, dan selama tiga tahun sebelum ini sebutan itu tidak pernah didengarnya. “Benarkah? Suruh masuk, Kei” Ibunda tersenyum berharap ini bukan mimpi. Arei, ia selama tiga tahun ini tidak berjumpa dengan anak itu. Membuatnya depresi apabila ia tidak sadar bahwa Mindia adalah anak kandungnya, bukan Nareihan.

“Tuan Muda?” Mindia penasaran, ia melirik ibunya, menatap sekilas.

“Tante…” Fahmi tersenyum pada Bunda. Ia lebih dulu masuk, sedangkan Arei ternyata mengurungkan niat untuk ke rumah itu. Arei pergi ke ruang pribadi di depan rumah yang merupakan kantor Tuan Fardenan yang ia rasa adalah penanggungjawab segalanya. Harus yang menjadi yang pertama ia temui saat itu juga.

“Fahmi… Lama tidak mampir kemari, apa kabar? Dan…” Bunda melirik kanan kiri, ia merasa sepetinya memang bukan Arei yang datang. Ini mimpi, tidak mungkin Arei datang.

“Alhamdulillah, baik…” jawabnya sumringah. “Hei Mindia, kenapa seperti kaget begitu.” Sapa Fahmi.

“Eh, kenapa bisa ada di sini, Fahmi?”

Mindia jadi bingung sendiri. Ia melirik ke arah Fahmi yang datang tanpa kabar itu. Terlebih melihat dengan jelas Fahmi memegang diarinya, ia ingat betul kalau itu adalah diari yang ada rumahnya, yang ia titipkan dengan Ibu. Kalau sekarang ada di tangan Fahmi, sudah pasti ia membaca isinya. Tiba-tiba Mindia melemas, kalau Fahmi membaca kalimat akhirnya, mungkin ada kesalahpahaman di sini, berharap Arei belum membaca itu.

Mindia mengingat kejadian masa lampau yang merupakan kesalahan Fahmi. Itu tiga tahun yang lalu, setelah ia dan Arei selesai membantu Mindia mengajari beberapa anak kecil tunarungu. Mindia menghampiri Fahmi yang ada di depan setir dan duduk diam, sementara Arei bercanda ria dengan anak kecil di sebrang jalan sana. “Hai, terima kasih atas bantuannya.” Ucap Mindia tulus. “kita bahkan belum berkenalan. Namaku Min,Dia… Kamu siapa?”

Fahmi melirik sekilas kepada Mindia tanpa turun dari Hammer. Fahmi sedikit pusing pada saat itu hanya mendengarkan sepotong kalimat Mindia dan mengartikannya sebagai “Namaku Min. Dia siapa?” karena pada saat itu Mindia sedang tersenyum kecil melihat tingkah laku Arei yang seperti kekanak-kanakan bermain dengan anak-anak kecil. “Arei.” jawab Fahmi hampir ketus.

“Oh… Arei, Kalau temanmu di sana, siapa namanya ya?” Sambil menunjuk ke arah Arei.

Fahmi terperangah, baru menyadari bahwa yang pertama tadi Mindia bertanya namanya. Dan
dalam saat bingung, entah kenapa ia tanpa sadar menjawab, “Fahmi. Dia baru pindah dari Jogya dan aku membantunya pindahan rumah.” Ini sungguh sebuah kebohongan, dan Fahmi benar-benar bingung mengapa ia jadi seperti itu. Sesaat ia seolah menyamar menjadi Arei. Tapi Mindia tidak tahu sama sekali saat itu.

“Sayang, Mindia… Kenapa melamun?” Bunda menguncang tubuhnya pelan. Mindia kembali tersadar. Ia memperhatikan sekitar.

“Maaf, Bun.” Kemudian ibunya beranjak dari sofa menuju seorang pelayan yang tadi hampir membuat Bunda bahagia karena ia menyebut nama tuan muda. “Oh ya, mau minum apa? Pasti lelah habis dalam perjalanan jauh, ya?” tawar Mindia berbasa-basi pada Fahmi.

“Eh, air putih saja.” Fahmi merasa kaku, bingung hendak berbicara dengan Mindia.

Setelah kemarin ia menyadari bahwa Mindia sudah menolak hatinya secara halus walau tidak secara langsung. Kata itu kembali terniang dalam pikirannya, “Aku tidak akan pernah pacaran. Biarpun dengan orang yang kusukai sekalipun. Kuharap kamu mengerti, islam tidak mengajarkan adanya hubungan khusus antara laki-laki dengan perempuan yang sah kecuali pernikahan.” Senyumnya pun berubah hambar. Padahal saat itu Fahmi hanya bertanya, “Apa kamu punya pacar?” dan ia benar-benar takjub dengan pemikiran gadis ini, benar-benar cerdas dan wanita baik-baik.

“Emmm… Jadi, ada perlu apa kamu kemari, Fahmi?” ulang Mindia. Kini Fahmi yang tersadar dari lamunan singkatnya.

“Kamu tadi benar-benar melamun, ya?” Tanya Fahmi.

“Mungkin.” Wajah Mindia memerah, bagaimana mungkin ia jadi suka melamun begitu, memalukan.

“Aku tadi sudah menjelaskan dengan ibumu.” Terang Fahmi.

“Oh… Emmm… Kenapa diari itu ada di tanganmu?”

“Ini? Arei menyuruhku membacanya. Well, padahal aku tidak suka membaca. Dan lagipula, aku sudah tahu jelas rincian di dalamnya, kecuali…”

“Lembar terakhir. ” Potong Mindia.

“Ya. Dan itu kesalahpahaman, aku minta maaf.” Tambah Fahmi.

“Apa dia sudah membacanya? Bagaimana katanya?” Mindia meremas-remas ujung jilbabnya, ia resah. Takut dan bingung.

“Tentu saja. Dia hanya bilang, meskipun rasanya sakit hati membaca kalimat akhir itu, tapi ia rela bila kau denganku. Itu katanya.”

“Maksudnya dengan sakit hati? Bararti ia…” tiba-tiba Mindia gugup. Antara senang dan bimbang, ia juga bingung, rasanya tidak mungkin. “Eh, apa kamu sudah menjelaskan yang sebenarnya?”

“Belum.” Fahmi menunduk merasa bersalah.

“Kenapa?” Tanya Mindia.

“Karena aku menyukaimu.” Batin Fahmi lirih. Dan juga… “Dia ternyata menyukaimu.” Fahmi berusaha tersenyum getir. Mereka saling menyukai, dan rasanya sangat pengecut apabila tidak mengatakan yang sebenarnya.

“Bercanda, ya?” senyum Mindia merekah, ia malu-malu.

“Benar. Ternyata sudah sejak tiga tahun yang lalu, dia kagum saat kepedulianmu terhadap
anak-anak kecil itu.” Jawab Fahmi sekenanya. Rasanya ia tidak ingin membicarakan hal ini. “Tapi… Aku masih memegang perkataanmu kemarin, loh…”
*** 

Berlanjut ke Berawal dari Kesalahpahaman (Part 5)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Berawal dari Kesalahpahaman (Part 3)

Lanjutan kisah Berawal dari Kesalahpahaman (Part 2)

Fahmi menyendiri dalam kamar. Ucapan Mindia kemarin terngiang jelas di telinganya. Ia patah hati, karena ternyata cintanya bertepuk sebelah tangan. Dalam tiga tahun ini kedekatan Mindia dan Fahmi tanpa disadari membuat Fahmi memiliki perasaan yang khusus padanya, meski mereka tidak bertemu, hanya berkomunikasi biasa lewat telepon. Mindia sama sekali tidak menyangka akan terjadi hal yang seperti itu, karena yang ia tahu, kedekatan mereka hanya karena permintaan Mindia yang menyuruh Fahmi untuk menjaga rahasia tentang dirinya.

Fahmi menerawang ke masa lalu, saat pertama kalinya ia bertemu dangan Mindia, gadis kalem yang baik hati itu. Sewaktu ia dan Arei selesai berberes-beres kamarnya, hari pertama ia pindahan rumah ke daerah pedalaman dekat Girimulyo. Arei merupakan sahabat sejati, yang sampai pindahan rumah pun, ia pun ikut andil. Mereka berdua terkadang seperti tom and jerry, sering berantem tapi tak pernah bisa lama karena pasti berbaikan lagi. Arei mungkin adalah malaikat, karena ia dari keluarga yang kaya raya sedangkan Fahmi hanya orang biasa, namun Arei tidak pernah mengungkit masalah perbedaan status sosial ini, ia tak pernah pandang bulu.

Waktu itu Fahmi menyetir Hammer milik Arei, yah, bisa dibilang bahwa Arei juga mengajari Fahmi menyetir beberapa mobilnya. Sering kali Fahmi merasakan bahwa Arei benar-benar orang yang tulus. bisa dibilang Fahmi ini merasa seperti kaki tangan Arei, selalu ada. Dan saat Fahmi menyetir, tiba-tiba Arei berteriak.

“Rem. Stop!” refleks Fahmi menginjak panel Rem. Hampir saja sekelompok anak kecil dan
seorang gadis tertabrak. “Fahmi, ayo turun…” perintah Arei. “Maaf kalian enggak apa-apa, kan?” Arei membantu berdiri beberapa anak kecil yang terduduk kaget. Sebagian mereka tidak menyahut, sebagian lagi terpesona dengan Hammer yang begitu besar dan mungkin baru pernah mereka lihat saat itu.

“Tidak apa-apa. Kami cuma kaget.” Gadis yang bernama Mindia itu tersenyum.

“Kalian mau kemana? Ayo kita antar!” tawar Arei.

“Tapi, kan..” sela Fahmi, sambil membisiki Arei. “Mobilnya baru aja dicuci, nanti kotor lagi...” setelah itu Fahmi hanya memandang ke arah Mindia. Memastikan ia tidak mendengar bisikannya kepada Arei. Mindia bersikap biasa saja, Fahmi menghembuskan nafas lega.

“Terima kasih atas tawarannya, tapi jalan kaki bentar juga sampai.” Gadis itu tersenyum sampil menunduk.

“Ayo adik-adik, masuk ke mobil, yuk.” Arei menatap anak-anak kecil tersebut. Namun mereka hanya diam, melirik ke arah Mindia, bertanya dalam kode tangan apa yang telah diucapkan Arei tadi. “Mereka…? Maaf, aku tidak tahu kalau… Hmmm… Tolong ya, translate-kan bahasaku tadi.” Arei kemudian nyengir kuda.

“Kakak tadi bilang, ayo adik-adik, kita naik mobil.” Mindia menunjukkan gerak tangan sebagai sandi untuk percakapan tunarungu.

Anak-anak tersebut teriak girang, mungkin ini pertama kalinya mereka naik mobil. Ah, Mindia ternyata terlihat sangat cantik, batin Fahmi saat itu. Hatinya berdesir melihat kebaikan wanita di depannya ini. Bagaimana mungkin ada saja yang peduli terhadap anak-anak yang tunarungu seperti ini? Bahkan ia pribadi pun tidak peduli, atau mungkin belum.

“Fahmi… Buka pintu kamarmu!” teriakan Arei menghentikan lamunan Fahmi. Ia berdiri kemudian menuju pintu kamar. “Tumben-tumbennya dikunci, lagi ngapain sih?” Tanya Arei penasaran.

“Enggak apa-apa,” jawab Fahmi setelah membukakan pintu kamarnya.

“Aku pinjem kamu bentar. Temani aku ke Jogya, ya…” Arei berlari ke lemari pakaian Fahmi, mengambil beberapa baju dan celana di sana. “Mana tasmu, buru-buru banget nih.” Saking akrabnya mereka, mungkin Arei berlaku seolah-olah Fahmi sudah menerima ajakannya itu tanpa menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’.

“Sebentar. Memangnya ada acara apa, sih? Kemana tujuan kita?” Fahmi mengernyitkan dagu, ia hampir dapat menebak ke mana tujuan Arei tanpa berbasa-basi mengajukan pertanyaan itu.

“Nanti di jalan kuceritakan. Aku sudah ijin dengan Mama-mu… Beliau oke-oke saja.” Jawab Arei sambil menatap serius pada Fahmi.

“Rei, matamu kok sembab? Kamu…” Fahmi menatap mata Arei. Semula ia sedikit kesal dengan sikap Arei yand terlihat seenaknya ini, tapi rasanya menyedihkan melihat teman yang baru saja menangis ini. Pasti ada apa-apa. Fahmi menatap pada Arei tajam. Masih menyisakan tanya yang mendalam, apa mungkin ia sudah tahu sesuatu yang selama ini Fahmi rahasiakan?

“Ceritanya panjang, ayo kita berangkat, aku sudah minjam pick up punya Pak RT.” Seru Arei sambil berlari tergesa-gesa keluar.

Sesampainya dalam mobil Arei hanya diam saja sambil mengingat perkataan ibunya, dilakukan berulang-ulang hingga ia hapal di luar kepala, “… memaafkan itu lebih mulia daripada meminta maaf. Namun meminta maaf adalah hal yang baik dari yang terbaik” hingga separuh perjalanan mereka. Dan ia baru kemudian teringat kalau ternyata ada orang disampingnya saat ini.

Fahmi sedari tadi bingung dan ingin bertanya, namun takut kalau kondisi kurang baik ini mempengaruhi Arei yang sedang sibuk menyetir. Sehingga ia pun hanya diam menunggu. “Fahmi, aku bingung mau cerita apa, tapi kamu baca dulu saja diari yang ada di dalam ranselku.” Fahmi pun menurut, ia pun mengambil sebuah diari yang lusuh dan tertulis jelas sebuah nama “Mindia” pada cover depannya. Fahmi kembali bertanya, mengapa diari ini ada di tangan Arei, apakah mungkin mereka berdua…

Fahmi memang tidak suka membaca, apalagi kalau yang dibaca adalah tulisan tangan. “Ini… Dibaca semuanya?” Fahmi melirik untuk memastikan bahwa ia cukup membaca di bagian tertentu kemudian selanjutnya biarkan ia mendengar semuanya dari mulut Arei. Tapi Arei hanya mengangguk. Itu tandanya, ia harus membaca keseluruhan dan ia yakin itu akan sangat memakan waktu yang lama, sampai ke halaman terakhir. Dan benar saja, Fahmi membuang waktu selama kurang lebih satu jam untuk menuntaskan bacaan yang hanya sebelas lembar saja.

Dag dig dug rasanya Fahmi membaca paragraf akhir. Dibanding lembar-lembar sebelumnya ia tidak seterkejut ini, karena sebenarnya ia memang sudah tahu sebelumnya. Malah Fahmi merasa sangat bersalah dengan Arei, ia selama 3 tahun ini merahasiakan sesuatu pada sahabatnya. Bukan sengaja, tapi memang Mindia-lah yang memohon agar Fahmi tidak memberitahukan segala sesuatu tentang dirinya, mengenai ia ke Jepang, ia adalah seorang tunarungu, dll.

Fahmi tak menyangka bahwa selama ini perasaan Mindia yang sebenarnya sudah tertulis di buku diari. Ini benar-benar sesuatu yang entah mengapa membuatnya kurang suka. Ada rasa di mana ini seharusnya tidak boleh terjadi, namun memang nyatanya telah terjadi. Ia telah melakukan kesalahan, kesalahan yang sampai saat ini pun tidak diketahui oleh Arei. Ia tidak bermaksud bohong, tapi ia memang tidak sengaja merahasiakannya.

“Rei… Yang paragraf akhir ini aku bisa menjelaskannya. Kalau…” Fahmi menatap Arei pilu.

“Sudahlah, Ga. Tidak usah menghiburku, aku memang patah hati membacanya. Tapi ya sudahlah, bila Mindia lebih memilihmu, aku rela. Yang terpenting sekarang adalah, aku mesti meminta maaf. Itu saja.”

“Apa? Kamu patah hati? Berarti kamu memang benar-benar…”

Fahmi menundukkan wajah. Mungkin tadi siang memang benar ia mendengar sekilas pernyataan Arei menyukai Mindia. Tapi ia sengaaja saat itu tidak menggubrisnya. Ia tak ingin sakit untuk membicarakan hal itu, hanya berharap itu hanya basa-basi Arei saja. Tapi ternyata tidak, kenyataan bahwa sebenarnya mereka berdua menyukai orang yang sama. Benar-benar dilema yang pahit.

“Iya, tapi mungkin itu dulu, tiga tahun yang lalu. Ah, sudahlah, kita harus cepat sebelum Mindia berangkat ke Jepang.” Fahmi tidak terlihat kaget, ia sudah tahu kalau Mindia besok memang pergi. Tapi yang baru Fahmi tahu, ternyata Arei menyukai Mindia. Ada rasa sesak di dada Fahmi karena cemburu, juga rasa panas karena merasa bersalah. Ternyata Arei pun menyukai Mindia, sama sepertinya. Ia merasa galau, ini sangat menyedihkan karena mereka berdua adalah sahabat.

“Hei. Fahmi? Woyyy!” Fahmi kembali tersadar dalam lamunan. “Kenapa melamun? Kamu kaget Mindia pergi ke Jepang?” Tanya Arei. Dan Fahmi berbohong, ia mengangguk kecil sembari memandang jalan di depan.

“Rei… Hmm… Sebenarnya…” Fahmi berusaha untuk menjelasakan sebuah kesalahpahaman yang belum diketahui Arei.

“Sudahlah tak apa, aku tahu kamu menyukai Mindia, kan? Kamu sering sms-an sama dia. Kamu pikir aku tidak tahu kalau yang namanya kamu tulis Aidnim itu siapa?” Fahmi kaget, temannya bahkan tahu kalau ia merahasiakan ini.

“Tapi, Rei… Ini tidak seperti yang kamu pikirkan.” Arei hanya tersenyum, meski hatinya sakit. Tapi ia mencoba untuk tetap tegar. Bila semua yang dia inginkan ini didapatan oleh sahabatnya, ia akan rela.
***


To be continued... Berawal dari Kesalahpahaman (Part 4)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Berawal dari Kesalahpahaman (Part 2)

Lanjutan kisah Berawal dari Kesalahpahaman (Part 1)

“Mindia kemarin pagi datang menemuiku.” Arei menatap Fahmi lesu. Ia tahu sebentar lagi sahabatnya ini akan menceramahinya.

“Kalian berbicara apa?” Fahmi tersenyum sambil melempar bola basket ke arah Arei. Perhatian Arei menjadi fokus pada bola, ia hanya menggeleng cepat. “Atau kamu mengusirnya?” tanya Fahmi sedikit membentak. Arei mengangguk sekilas, kemudian melakukan gerakan three point dan masuk ke dalam ring.

“Hei, kau bilang akan mentraktirku bakso kalau aku berhasil lima kali melakukan three point hari ini. Aku sudah tujuh kali nih.” Arei berkata sambil men-dribble bola di tempat, ia sengaja mengalihkan pembicaraan.

“Oke. Ayo kita ke sana sekarang. Aku sudah sangat lapar.” Arei melirik Fahmi, heran seribu bahasa dengan temannya ini. Fahmi biasanya menasehati Arei rutin setiap kali mereka bertemu, yaitu untuk tidak marah terus-menerus pada Mindia. Tapi sekarang, Fahmi tidak terlihat peduli akan hal itu, bahkan setelah ia mengaku kemarin telah mengusir Mindia. “Hei, ayo. Kenapa malah melamun?” Fahmi memukul pelan bahu Arei.

“Eh, sekarang? Ayo…” respon Arei sekenanya.

Fahmi dan Arei menaiki sepeda gunung menuju Pak Nino, tukang bakso di jalan yang menjadi langganan mereka. Dalam perjalanan tersebut Fahmi hanya diam dan Arei cukup bingung dengan keadaan ini. Kenapa temannya ini apatis dan bersikap seolah tidak terjadi apapun. Malah Arei yang entah kenapa sedang sangat ingin membicarakan ini dengan Fahmi, di luar keegoisannya selama tiga tahun ini, entah mungkin karena Mindia kemarin datang dihadapannya. Namun Fahmi tidak menyinggung sama sekali sampai mereka selesai makan bakso sekali-pun.

“Fahmi… Aku masih menyukai Mindia.” Ucap Arei pelan. Sangat pelan hingga ia merasa Fahmi tidak perlu mendengarnya, tapi mudah-mudahan memahaminya.

“Pak, bakso dua. Berapa?” Wow. Arei melotot dan hampir saja gondok melihat Fahmi bukannya merespon kalimatnya tapi malah berbasa-basi dengan Pak Nino. Jelas-jelas saat itu Arei yakin Fahmi mendengarnya. Tapi, Arei merasa kini tidak dipedulikan lagi.

“Oalah lee, lee.. Kayak ga biasa makan di sini aja. Harga biasa lah…” jawab Pak Nino disertai tawa yang khas.

“Bukannya gitu, Pak. Siapa tahu ada diskon, kan pelanggan setia. Hehehehe” malah Fahmi bercanda dengan tukang bakso. Arei di sampingnya tambah gondok kemudian mengelus dada, mencoba sabar yang tak tekira.
“Walahh kayak mini market pakai istilah diskon segala, nanti kalau ada rezeki nomplok, yo lee..” balas Pak Nino seadanya.

“Fahmi, aku pulang duluan. Thanks traktirannya! See you…” akhirnya Arei mencoba pergi meninggalkan Fahmi yang tengah asik bersanda gurau.

“Oke bro. Hati-hati di jalan..” Fiuh, padahal Arei berharap Fahmi menahannya pergi, tapi ternyata tidak. Entah apa maksudnya, tapi ia merasa kesal dengan sahabat karibnya ini. Sungguh basa-basi untuk mengatakan ‘hati-hati‘ yang notebene rumah Arei hanya berjarak 100 meter dari tempat mereka makan bakso.

“Yup.” Jawab Arei ketus.

Sesampainya di rumah, entah tiba-tiba Arei ingin mengajak ibunya berbicara. Apabila sahabatnya tadi bersifat apatis, ia rasa ibunya tidak akan begitu. Perlahan Arei bergegas ke ruang tengah, melihat ibunya saat itu sedang menjahit pakaian. Ia duduk sambil berpura-pura hendak menyalakan TV. Nampaknya ibunya kini sedang sibuk. Namun Arei merasa harus ada yang mendengarkan keluh kesalnya sekarang.

“Bu… Mindia kemarin pagi datang. Dan…” ucapnya lirih. Tertahan dengan egonya, ia sulit memperkirakan apa kalimat selanjutnya yang pas dan mungkin dapat direspon oleh ibunya.

“Rei, tolong ambilkan kotak kosong di meja dalam kamar ibu…” Arei terdiam penuh bingung, kenapa malah mengalihkan pembicaraan. Namun, ibu adalah segalanya bagi Arei dan ia tidak pernah melewan perintah beliau selama tiga tahun ini, kecuali mungkin perintah untuk tidak mendendam pada Mindia. Itu sulit, karena ini menyangkut perasaan.

“Baik, Bu.” Jawabnya lesu. Dan tak lama kemudian, ia meletakkan kotak tua yang lusuh itu ke hadapan ibunya. “Ini kotaknya berisi apa, Bu?”

“Kuncinya ada di gantungan kunci kamarmu, Rei. Buka dan lihat di dalamnya ada sebuah diari, baca isinya. Ini bukan milikmu, tapi Ibu tidak ingin berlama-lama merahasiakannya.” Bahkan Ibu belum merespon ucapan Arei tentang Mindia tadi.

“Sekarang? Tapi, Bu… Ada yang ingin Arei bicarakan, lebih penting dari hal ini. Bu.. Ini mengenai Min…”

“Sekarang, Rei. Atau mungkin kamu akan menyesal seumur hidup.” Potong ibunya, sedikit menantang.

“Sebegitu pentingnya, Bu? Baik... Arei akan membukanya di kamar.” Jawabnya menyanggupi.

“Rei, sekali lagi Ibu katakan, memaafkan itu lebih mulia daripada meminta maaf. Namun meminta maaf adalah hal yang baik dari yang terbaik.” ucap Ibunya menasehati.

“Iya, Bu…” Arei bergegas masuk ke dalam kamar, tanpa menutup pintunya.
Ia bergegas membuka kunci gembok kotak tersebut, kemudian menemukan sebuah diari lusuh. Tulisan tangan yang cukup rapi dan terbaca jelas. Ini merupakan buku harian. Nama Mindia tertulis di cover-nya. Tidak salah lagi, ini memang miliknya. Arei membuka lembar pertama, memulai membacanya. Entah mengapa jantung Arei berdegup kencang sesaat membacanya…

Tangis mengaliri wajah Arei. Ia membatin, Sekitar sepuluh lembar aku habis membacanya, dan aku menangis, tangisan yang hebat. Terakhir aku menangis sejadinya adalah 3 tahun yang lalu. Itu semua karena aku telah dibohongi selama 20 tahun. Namun saat ini adalah tangisan penyesalan dan rasa bersalahku kepada Mindia. Mengutuki keegoisanku untuk tak mendengar secuil pun kalimat pembelaannya selama 3 tahun ini, aku menghindari teleponnya bahkan bertemu dengannya.

Aku benar-benar seperti anak kecil yang tak dapat mengerti. Dan sekarang aku benar-benar merasa sangat bersalah. Aku salah paham. Aku baru tahu kalau Mindia adalah tunarungu. Aku tak pernah tahu kalau selama ini Mindia juga sama sepertiku. Kami sama-sama terjebak, tapi aku bahkan meluapkan rasa amarahku kepadanya, dia yang bahkan lebih tidak tahu apa-apa dibanding dengan diriku.


Sambil terisak kuat dalam batin, Arei melanjutkan bacaannya…

“… Aku saat itu bingung dengan kedatangan mereka yang terus menerus. Saat aku bertanya dengan ibu, siapakah mereka? Ibu hanya menggeleng dan mengatakan teman. Tapi anehnya, setiap kali mereka berdua datang, si wanitanya ini selalu saja memelukku. Saat hal itu kutanya pada ibu, beliau hanya menjawab, “Mereka mengira kamu adalah anaknya dan memang kamu mirip dengan anaknya sewaktu kecil, Min. Tapi mereka sulit untuk melupakan putrinya yang sudah tiada, itu mengapa bila mereka merindukan anaknya, mereka kemari menemuimu” itu jawaban Ibu yang selalu sama. Dan anehnya sampai sekarang aku masih bingung, karena aku selalu disuruh melepaskan alat bantu tunarungu ini apabila mereka datang, dan otomatis aku tidak dapat menangkap jelas apa pembicaraan antara orang tuaku dan pasutri ini. Membuatku resah karena kejadiaan ini yang berulang dimulai aku kecil sampai sekarang ini. Aku bingung…”

Arei terdiam sejenak. Melemparkan pandangannya pada seluruh isi kamar. Kemudian membatin kembali. "Mereka? Mereka dalam tulisan tangan tersebut sudah dapat kuprediksi dengan pasti siapa. Aku mengenalnya semenjak kecil selama 20 tahun. Yang kupanggil Ayah dan Bunda. Yang membuatku semula merasa lebih berarti dengan berjuta materi namun tanpa kasih sayang. Rasanya aku seperti barang yang dibeli dan dapat dijadikan boneka. Aku benar-benar muak. Mereka juga lah yang membuatku bersitegang selama 3 tahun terakhir ini dengan Mindia. Kenapa baru sekarang aku tahu. Ini membuat perasaan sukaku pada Mindia tertutupi oleh rasa benciku karena hal ini."

Kembali Arei membaca halaman terakhirnya… Menarik nafas sejenak, sekilas ia membaca ada namanya tertulis di buku itu. Benarkah? Ia kemudian merasa senang, tak sabar membacanya hingga tuntas…

“… Kupikir dalam hidupku, aku tidak akan pernah bertemu dangan seorang laki-laki yang terlihat tak sombong. Aku beri ia julukan Mr. F saja, inisial dari namanya. Dengan senyumnya yang tulus, pada waktu itu membantuku yang sedang mengajari beberapa anak tunarungu sepertiku di sebuah gubuk lusuh kecil yang dinamai Pelic Shreni. Padahal kami baru saja bertemu tadi pagi dan dia sepertinya sedang pindah rumah. Semua orang di sini tahu bahwa aku seorang tunarungu sejak lahir, namun laki-laki ini tidak tahu, aku mengenakan alat bantu yang tidak bisa ia lihat, jelas saja karena itu terpasang di telingaku yang tertutup oleh jilbab yang kukenakan. Mr. F sewaktu itu datang bersama temannya yang juga ikut membantunya pindahan rumah, tapi entah mengapa aku sama sekali tidak menyukai temannya, yang bernama Arei itu. Dia terlihat tidak bersahabat, mungkin karena ia dari kelas kota yang penuh harta dengan kebiasaan hura-hura, ia mungkin jijik berada di desa ini. Secara tidak langsung, rasanya aku menyukai Mr. F ini. Hmmm.. aku menyuikai sifatnya. Itu saja kurasa. Selamat malam…”

Arei memberi waktu untuk ia bernafas. Menyatukan diri dengan suasana di kamar. Merasakan sesuatu yang bahkan hampir meledak dalam dirinya. Lagi-lagi ia membatin. "Menyedihkan sekali mengetahui bahwa ternyata Mindia menyukai Fahmi, si Mr. F itu pada kenyataannya. Entah mengapa walaupun itu adalah dulu, tapi aku benar-benar merasa patah hati saat ini. Baiklah, mungkin ini bukan masalah besar, ini kurasa setimpal karena aku benar-benar mengacuhkan Mindia selama tiga tahun kerena kesalahpahaman yang tercipta. Tangisku kini kembali membuncah, tak peduli mungkin ada yang mendengarkanku atau tidak."

“Rei…” Ibu dengan matanya yang sayu mendekat Arei perlahan. “Sudah, jangan menangis…” ucap beliau sambil mengusap air mata Arei, tak peduli apakai ia adalah laki-laki yang berumur 23 tahun dan sudah bekerja. Tapi menurutnya, semua orang berhak menangis, tidak peduli ia wanita atau pun pria, muda maupun tua.

“Bu… Kenapa ibu tidak bilang? Setidaknya memberi tahu kalau Mindia adalah tunarungu. Rei… Rei selama 3 tahun ini salah paham, Bu…” Arei masih dalam tangisan penyesalan. “Dan Arei baru tahu bahwa selama ini, Mindia… Tidak tahu apa—apa… Arei malah memarahinya,”

“Mindia menyuruh ibu merahasiakan hal ini, Rei… Dia ingin memberitahu kamu langsung, tetapi ternyata kamu tidak juga terketuk hatinya untuk mendengarkan Mindia, kamu selalu menghindar. Ibu jadi sedih. Dan kamu juga selalu tidak ingin mendengar nama keluarga Fardenan lagi.”

“Rei benar-benar sakit hati pada saat itu, Bu...” Arei makin terisak. “Kalau begitu, mengapa ibu tiba-tiba beritahu hal ini? Mengapa ibu memberikan diarinya sekarang ini?” tanyanya perlahan.

“Rei, ibu tidak ingin berlama-lama merahasiakan ini darimu. Karena… Besok Mindia harus kembali ke Jepang. Dan…” Rei menatap ibunya penuh tanya.

“Kembali ke Jepang? Maksudnya dengan kembali? Memangnya dia selama ini ada di Jepang? Untuk apa, Bu?” Ibu kembali membalas tatapan tajam pada Arei. Ibu mulai terisak.

“Selama tiga tahun ini, Mindia melanjutkan studi di Jepang sambil menjalani pengobatan tunarungu-nya, dia juga operasi...”

“Apa? Operasi? Di mana Mindia sekarang, bu?” Arei berdiri tegak, ia memotong kalimat ibunya. Bayangan Mindia menari-nari di kepalanya.

“Sebentar Rei, dengarkan Ibu. Mindia ada di rumahnya. Kamu tahu tempatnya, kan. Dia…” Arei terduduk lesu. Keluarga Ferdenan, mereka lagi.

“Mungkin Arei memang bersalah dengan Mindia, tapi itu tidak merubah perasaan sakit hati Arei dengan mereka Keluarga Fardenan, Bu.” Sementara Arei bingung, apa yang musti dilakukannya.

“Rei, kamu perlu tahu bahwa semuanya ini adalah kekhilafan dan kamu tidak bisa menyalahkan siapapun. Biar bagaimanapun, selama 20 tahun keluarga Fardenan sudah merawatmu…”

“Dan juga membohongiku.” Arei memotong.

“Sudah ibu katakan, mereka tidak berbohong, hanya merahasiakan, Rei. Mereka sama seperti kami. Kamu bisa memaafkan Ibu dan Bapak, tapi kamu kenapa tidak bisa memaafkan mereka?”

“Berbeda, Bu. Mereka menggunakan uang dan merasa bahwa semua akan berjalan sehendak hati dengan uang yang mereka miliki. Dan di mana perasaan mereka, ketika mereka masih sanggup menemui putri kandungnya, sedangkan aku tidak pernah menemui ibu yang bahkan selama 20 tahun sekali-pun.” Tangis penyesalan Arei berubah menjadi kekesalan yang amat sangat, kenangan itu muncul kembali.

“Rei, dengarkan Ibu… Coba kamu pikirkan Rei, tenang dulu Rei… Yang mungkin berhak marah itu Mindia. Dia terlahir tunarungu sejak lahir, tapi ayahnya yang ingin memiliki anak laki-laki pertama malah menukarnya dengan anak ibu, yaitu kamu, Rei.” Aku masih mendengarkan sambil menunduk dalam. “Bayangkan bila kamu jadi Mindia, ia hidup sederhana tanpa materi yang berlebih karena bertukar denganmu. Ia tak tahu apa-apa, tapi ia mampu membuka hatinya untuk berpikir positif dan bersifat lapang untuk memaafkan. Rei…”

Arei dalam tangis pilu itu merasakan perih saat ternyata begitu beruntungnya dirinya. Dan tidak sadar bahwa selama ini ia malah bersikap egois dan tak ingin menerima apapun. Ia selalu memikirkan kelogisan dibandingkan perasaan. Arei pun memeluk ibunya... “Bu. Aei akan berangkat ke Jogya sore ini.” Ia menutup matanya menuangkan penyesalan yang sangat. Justru ialah yang selama tiga tahun ini tertutup hatinya oleh dinding yang beku, tanpa ada rasa yang singgah.
***

To be continued... Berawal dari Kesalahpahaman (Part 3)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Berawal dari Kesalahpahaman (Part 1)

Kedatangan gadis ini membuat Arei bingung, setelah yang terjadi 3 tahun yang lalu, mesti samar-samar tapi Arei masih ingat. Sang gadis tidak menatap Arei, hanya menundukkan kepala sambil tetap berdiri. Arei yang tidak cukup mengerti maksud kedatangannya ini hanya memalingkan wajah angkuh. Sepoi-sepoi angin yang menggelitik menyapa dedaunan di taman depan. Keduanya tetap diam di tempat, tak ada yang mulai berbicara.

Arei menatap pintu depan, ingatannya menerka pada kejadian 3 tahun yang lalu. Ya, pintu itu adalah awal mula segalanya. Ia ingat betul, dari pintu tersebut ia melihat Ayah dan Bundanya keluar sambil menangis terisak. Padahal ia kebetulan sedang jalan bersama Fahmi, teman dari semasa ia kecil, yang sedang pindahan rumah kemarin. Arei membantunya mengepaki beberapa barang milik Fahmi dengan Hammer-nya saat itu. Mereka berdua adalah sahabat karib sampai kapan pun, meski keduanya saat itu berada pada perguruan tinggi yang berbeda.

Ia memberi aba-aba kepada Fahmi untuk berhenti, kemudian matanya menatap lekat ke arah Ibunda yang tengah terisak. Ia tertegun sambil membatin mengapa Ibundanya ada di sini, bukannya mereka sedang di jakarta? Arei menatap Fahmi dan berharap penuh temannya ini dapat menjawab semua tanya di hatinya. Namun Fahmi hanya menggeleng, bahkan mengisyaratkan agar mereka berdua tidak usah bersembunyi di balik semak seperti ini, isyarat disertai dengan berbisik “Langsung saja kita ke sana, Rei..” spontan Arei memelototi Fahmi, bagaimana mungkin ia tiba-tiba muncul di sana, dan kemudian dengan sedikit konyol berteriak “Surprise!”. Ada-ada saja temannya ini.

“Hai!” sapaan gadis itu memotong lamunan Arei. Mengejutkan karena hampir saja ia yang sedang mengunyah permen karet itu tersedak, cukup berdiam beberapa detik untuk menahan amarahnya meluap. Gadis itu masih berdiri dan tetap menundukkan wajahnya. Arei sedikit melirik ke arah sumber suara tadi sambil tersenyum sinis, sebentar ia kembali memalingkan wajah. Tak ada kontak mata di antara keduanya.

Arei kembali menggali ingatannya yang terdalam. Kata sapaan yang sama, orang yang sama, lirik yang sama, dan suara khas yang sama. “Hai!” Arei dan Fahmi menoleh kebelakang. Seorang gadis tersenyum, “Kalian sedang apa di sini? Mengintip apa sih?” gadis yang ditemui Arei kemarin sore tiba-tiba berdiri di depannya. Arei gugup dan salah tingkah saat itu, moment yang kurang pas karena ia kepergok sedang mengintip. Arei menoleh ke sampingnya sekilas, bersikut tangan dengan Fahmi dan menyuruhnya untuk menjawab tanya gadis itu.

“Eh, Mindia. Ini Arei lagi pengen lihat-lihat tanaman, itu banyak yang bagus yah, syukur-syukur bisa dibawa buat ditanam di kota. Hehehe” Jawab Fahmi sekenanya. Ia kembali melirik Arei.

“Iya bener… Mindia sendiri lagi apa di sini?” Arei mengalihkan pertanyaan kepada Mindia. Namun saat itu Mindia fokus memandangi taman di depan rumahnya.

“Eh, maaf ya, aku ada perlu sesuatu. Aku duluan ya, Fahmi, Arei...” ucapnya pamit dengan kedua laki-laki di hadapannya. Kemudian ia berlari pelan menuju taman depan sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam jilbab. Entah apa yang dilakukannya, karena memang tidak terlihat jelas dari belakang. Baik Fahmi maupun Arei tidak tahu tentang itu. Mindia hanya berlari kecil, hingga akhirnya, pelan tapi pasti, terdengar Mindia berucap, “Bunda… Ayah...” dan dalam hitungan detik, Arei dengan matanya menyaksikan bahwa seorang gadis yang baru dikenalnya kemarin, kini tengah memeluk erat Bundanya. Mata Arei menatap tanpa kedip dan penuh tanya.

Rasanya panas mengingat kejadiaan tersebut. Ia kemudian mencoba untuk memahami keadaan sekitar, memusatkan pikiran pada masa sekarang. Arei memalingkan wajah pada gadis berjilbab di depannya ini. “Ibu bapak sedang tidak ada.” cukup lama berpikir untuk mengucapkan lima kata ini dan berharap si gadis yang masih berdiri sambil menunduk ini mengerti akan maksudnya.

“Aku… Mencarimu… Bukan mereka… Emmmm… Kupikir... Semestinya kita harus berbicara.” Si gadis cukup gugup untuk berbicara di hadapan Arei, terlebih ada rasa takut dalam hatinya. Ia mengangkat wajahnya sekilas memastikan apakah lawan bicaranya ini meresponnya, namun Arei tetap memalingkan wajah seperti tak peduli. Ia kembali menunduk, merasakan sedikit hawa yang kurang bersahabat saat itu, Arei mungkin terlihat seperti ingin marah padanya.

“Maaf. Aku sibuk.” Arei jelas sangat mengerti akan kedatangannya ini, jelas bukan Ayah dan Ibu yang ia cari, tapi dirinya. Gadis itu sudah cukup sering menelepon ke rumah untuk sekedar mengobrol dengan orang tuanya, atau mungkin terkadang mereka bertemu, namun Arei tidak peduli hal itu. Dan tiga tahun terakhir ini, ia tak pernah bertemu gadis ini, ia benar-benar tak ingin, ego menentangnya untuk mendengarkan pembelaan dari gadis ini.

“Kalau kau sibuk, bolehkah aku meminta nomer handphone-mu? Aku akan menghubungimu nanti.” Arei tersenyum sinis, ini jelas omong kosong dan basa-basi dalam pikirannya. Apabila ia meminta nomor hape, tak perlu datang jauh-jauh kemari, cukup dengan bertanya pada Ibu pasti gadis ini akan diberitahu, bukankah hubungan mereka sangat dekat? Dan Arei pikir tak ada perlunya untuk berbicara dengan gadis ini. Ia sudah cukup sakit hati akan masa lalu itu, cukup sudah.

“Silahkan saudari Mindia Fardenan bertanya pada Ibuku nanti. Permisi.” Arei berucap ketus tanpa menatap gadis yang bernama Mindia itu. Ia melangkahkan kakinya ke arah pintu rumah dengan perlahan tanpa menoleh ke belakang. Arei merasa jawabannya terakhir sudah cukup jelas bahwa ia tidak suka dengan kehadiran Mindia yang tiba-tiba itu, hatinya cukup panas dengan kejadiaan yang lalu. Meskipun itu sudah lama sekali terjadi.

“Arei, tolong jangan menghindar lagi. Ini tak kan berakhir kalau kau terus seperti ini.” Mindia merasa ingin menangis di tempat, namun ia berusaha menahan itu. Melihat Arei yang hanya berdiri diam di tempat dan membelakanginya, Mindia pun kemudian melakukan hal yang sama. Ia membalikkkan badannya dan berlari untuk pulang, rasanya ini bukan hari yang tepat untuk menjelaskannya. Mungkin Arei perlu waktu untuk berpikir, situasinya terlihat kurang baik.

Arei menoleh ke belakang dan ingin mengucapkan sesuatu, namun tertahan oleh keegoisannya hingga saat ini. Ia menatap sendu Mindia yang berlari kecil menuju sebuah mobil. Rasanya seperti baru kemarin kejadian tiga tahun silam itu hadir, rasa perihnya tak terkira. Ia berargumen bahwa obat untuk menyembuhkan rasa sakitnya tak akan pernah bisa dibayar oleh apapun. Ada sedikit rasa sesal karena telah berpura-pura sedang sibuk, namun ia tepis sesal itu untuk mempertahankan prinsipnya. Ada rasa penasaran karena ia ingin tahu apa yang hendak diberitahu oleh Mindia kepada Arei, padahal ia rasa semua sudah berakhir.
***

To be countinued... Berawal dari Kesalahpahaman (Part 2)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Jadilah SaMoNa (Sahabat Mom Anna)