Lanjutan kisah Berawal dari Kesalahpahaman (Part 1)
“Mindia kemarin pagi datang menemuiku.” Arei menatap Fahmi lesu. Ia tahu sebentar lagi sahabatnya ini akan menceramahinya.
“Kalian berbicara apa?” Fahmi tersenyum sambil melempar bola basket ke arah Arei. Perhatian Arei menjadi fokus pada bola, ia hanya menggeleng cepat. “Atau kamu mengusirnya?” tanya Fahmi sedikit membentak. Arei mengangguk sekilas, kemudian melakukan gerakan three point dan masuk ke dalam ring.
“Hei, kau bilang akan mentraktirku bakso kalau aku berhasil lima kali melakukan three point hari ini. Aku sudah tujuh kali nih.” Arei berkata sambil men-dribble bola di tempat, ia sengaja mengalihkan pembicaraan.
“Oke. Ayo kita ke sana sekarang. Aku sudah sangat lapar.” Arei melirik Fahmi, heran seribu bahasa dengan temannya ini. Fahmi biasanya menasehati Arei rutin setiap kali mereka bertemu, yaitu untuk tidak marah terus-menerus pada Mindia. Tapi sekarang, Fahmi tidak terlihat peduli akan hal itu, bahkan setelah ia mengaku kemarin telah mengusir Mindia. “Hei, ayo. Kenapa malah melamun?” Fahmi memukul pelan bahu Arei.
“Eh, sekarang? Ayo…” respon Arei sekenanya.
Fahmi dan Arei menaiki sepeda gunung menuju Pak Nino, tukang bakso di jalan yang menjadi langganan mereka. Dalam perjalanan tersebut Fahmi hanya diam dan Arei cukup bingung dengan keadaan ini. Kenapa temannya ini apatis dan bersikap seolah tidak terjadi apapun. Malah Arei yang entah kenapa sedang sangat ingin membicarakan ini dengan Fahmi, di luar keegoisannya selama tiga tahun ini, entah mungkin karena Mindia kemarin datang dihadapannya. Namun Fahmi tidak menyinggung sama sekali sampai mereka selesai makan bakso sekali-pun.
“Fahmi… Aku masih menyukai Mindia.” Ucap Arei pelan. Sangat pelan hingga ia merasa Fahmi tidak perlu mendengarnya, tapi mudah-mudahan memahaminya.
“Pak, bakso dua. Berapa?” Wow. Arei melotot dan hampir saja gondok melihat Fahmi bukannya merespon kalimatnya tapi malah berbasa-basi dengan Pak Nino. Jelas-jelas saat itu Arei yakin Fahmi mendengarnya. Tapi, Arei merasa kini tidak dipedulikan lagi.
“Oalah lee, lee.. Kayak ga biasa makan di sini aja. Harga biasa lah…” jawab Pak Nino disertai tawa yang khas.
“Bukannya gitu, Pak. Siapa tahu ada diskon, kan pelanggan setia. Hehehehe” malah Fahmi bercanda dengan tukang bakso. Arei di sampingnya tambah gondok kemudian mengelus dada, mencoba sabar yang tak tekira.
“Walahh kayak mini market pakai istilah diskon segala, nanti kalau ada rezeki nomplok, yo lee..” balas Pak Nino seadanya.
“Fahmi, aku pulang duluan. Thanks traktirannya! See you…” akhirnya Arei mencoba pergi meninggalkan Fahmi yang tengah asik bersanda gurau.
“Oke bro. Hati-hati di jalan..” Fiuh, padahal Arei berharap Fahmi menahannya pergi, tapi ternyata tidak. Entah apa maksudnya, tapi ia merasa kesal dengan sahabat karibnya ini. Sungguh basa-basi untuk mengatakan ‘hati-hati‘ yang notebene rumah Arei hanya berjarak 100 meter dari tempat mereka makan bakso.
“Yup.” Jawab Arei ketus.
Sesampainya di rumah, entah tiba-tiba Arei ingin mengajak ibunya berbicara. Apabila sahabatnya tadi bersifat apatis, ia rasa ibunya tidak akan begitu. Perlahan Arei bergegas ke ruang tengah, melihat ibunya saat itu sedang menjahit pakaian. Ia duduk sambil berpura-pura hendak menyalakan TV. Nampaknya ibunya kini sedang sibuk. Namun Arei merasa harus ada yang mendengarkan keluh kesalnya sekarang.
“Bu… Mindia kemarin pagi datang. Dan…” ucapnya lirih. Tertahan dengan egonya, ia sulit memperkirakan apa kalimat selanjutnya yang pas dan mungkin dapat direspon oleh ibunya.
“Rei, tolong ambilkan kotak kosong di meja dalam kamar ibu…” Arei terdiam penuh bingung, kenapa malah mengalihkan pembicaraan. Namun, ibu adalah segalanya bagi Arei dan ia tidak pernah melewan perintah beliau selama tiga tahun ini, kecuali mungkin perintah untuk tidak mendendam pada Mindia. Itu sulit, karena ini menyangkut perasaan.
“Baik, Bu.” Jawabnya lesu. Dan tak lama kemudian, ia meletakkan kotak tua yang lusuh itu ke hadapan ibunya. “Ini kotaknya berisi apa, Bu?”
“Kuncinya ada di gantungan kunci kamarmu, Rei. Buka dan lihat di dalamnya ada sebuah diari, baca isinya. Ini bukan milikmu, tapi Ibu tidak ingin berlama-lama merahasiakannya.” Bahkan Ibu belum merespon ucapan Arei tentang Mindia tadi.
“Sekarang? Tapi, Bu… Ada yang ingin Arei bicarakan, lebih penting dari hal ini. Bu.. Ini mengenai Min…”
“Sekarang, Rei. Atau mungkin kamu akan menyesal seumur hidup.” Potong ibunya, sedikit menantang.
“Sebegitu pentingnya, Bu? Baik... Arei akan membukanya di kamar.” Jawabnya menyanggupi.
“Rei, sekali lagi Ibu katakan, memaafkan itu lebih mulia daripada meminta maaf. Namun meminta maaf adalah hal yang baik dari yang terbaik.” ucap Ibunya menasehati.
“Iya, Bu…” Arei bergegas masuk ke dalam kamar, tanpa menutup pintunya.
Ia bergegas membuka kunci gembok kotak tersebut, kemudian menemukan sebuah diari lusuh. Tulisan tangan yang cukup rapi dan terbaca jelas. Ini merupakan buku harian. Nama Mindia tertulis di cover-nya. Tidak salah lagi, ini memang miliknya. Arei membuka lembar pertama, memulai membacanya. Entah mengapa jantung Arei berdegup kencang sesaat membacanya…
Tangis mengaliri wajah Arei. Ia membatin, Sekitar sepuluh lembar aku habis membacanya, dan aku menangis, tangisan yang hebat. Terakhir aku menangis sejadinya adalah 3 tahun yang lalu. Itu semua karena aku telah dibohongi selama 20 tahun. Namun saat ini adalah tangisan penyesalan dan rasa bersalahku kepada Mindia. Mengutuki keegoisanku untuk tak mendengar secuil pun kalimat pembelaannya selama 3 tahun ini, aku menghindari teleponnya bahkan bertemu dengannya.
Aku benar-benar seperti anak kecil yang tak dapat mengerti. Dan sekarang aku benar-benar merasa sangat bersalah. Aku salah paham. Aku baru tahu kalau Mindia adalah tunarungu. Aku tak pernah tahu kalau selama ini Mindia juga sama sepertiku. Kami sama-sama terjebak, tapi aku bahkan meluapkan rasa amarahku kepadanya, dia yang bahkan lebih tidak tahu apa-apa dibanding dengan diriku.
Sambil terisak kuat dalam batin, Arei melanjutkan bacaannya…
“… Aku saat itu bingung dengan kedatangan mereka yang terus menerus. Saat aku bertanya dengan ibu, siapakah mereka? Ibu hanya menggeleng dan mengatakan teman. Tapi anehnya, setiap kali mereka berdua datang, si wanitanya ini selalu saja memelukku. Saat hal itu kutanya pada ibu, beliau hanya menjawab, “Mereka mengira kamu adalah anaknya dan memang kamu mirip dengan anaknya sewaktu kecil, Min. Tapi mereka sulit untuk melupakan putrinya yang sudah tiada, itu mengapa bila mereka merindukan anaknya, mereka kemari menemuimu” itu jawaban Ibu yang selalu sama. Dan anehnya sampai sekarang aku masih bingung, karena aku selalu disuruh melepaskan alat bantu tunarungu ini apabila mereka datang, dan otomatis aku tidak dapat menangkap jelas apa pembicaraan antara orang tuaku dan pasutri ini. Membuatku resah karena kejadiaan ini yang berulang dimulai aku kecil sampai sekarang ini. Aku bingung…”
Arei terdiam sejenak. Melemparkan pandangannya pada seluruh isi kamar. Kemudian membatin kembali. "Mereka? Mereka dalam tulisan tangan tersebut sudah dapat kuprediksi dengan pasti siapa. Aku mengenalnya semenjak kecil selama 20 tahun. Yang kupanggil Ayah dan Bunda. Yang membuatku semula merasa lebih berarti dengan berjuta materi namun tanpa kasih sayang. Rasanya aku seperti barang yang dibeli dan dapat dijadikan boneka. Aku benar-benar muak. Mereka juga lah yang membuatku bersitegang selama 3 tahun terakhir ini dengan Mindia. Kenapa baru sekarang aku tahu. Ini membuat perasaan sukaku pada Mindia tertutupi oleh rasa benciku karena hal ini."
Kembali Arei membaca halaman terakhirnya… Menarik nafas sejenak, sekilas ia membaca ada namanya tertulis di buku itu. Benarkah? Ia kemudian merasa senang, tak sabar membacanya hingga tuntas…
“… Kupikir dalam hidupku, aku tidak akan pernah bertemu dangan seorang laki-laki yang terlihat tak sombong. Aku beri ia julukan Mr. F saja, inisial dari namanya. Dengan senyumnya yang tulus, pada waktu itu membantuku yang sedang mengajari beberapa anak tunarungu sepertiku di sebuah gubuk lusuh kecil yang dinamai Pelic Shreni. Padahal kami baru saja bertemu tadi pagi dan dia sepertinya sedang pindah rumah. Semua orang di sini tahu bahwa aku seorang tunarungu sejak lahir, namun laki-laki ini tidak tahu, aku mengenakan alat bantu yang tidak bisa ia lihat, jelas saja karena itu terpasang di telingaku yang tertutup oleh jilbab yang kukenakan. Mr. F sewaktu itu datang bersama temannya yang juga ikut membantunya pindahan rumah, tapi entah mengapa aku sama sekali tidak menyukai temannya, yang bernama Arei itu. Dia terlihat tidak bersahabat, mungkin karena ia dari kelas kota yang penuh harta dengan kebiasaan hura-hura, ia mungkin jijik berada di desa ini. Secara tidak langsung, rasanya aku menyukai Mr. F ini. Hmmm.. aku menyuikai sifatnya. Itu saja kurasa. Selamat malam…”
Arei memberi waktu untuk ia bernafas. Menyatukan diri dengan suasana di kamar. Merasakan sesuatu yang bahkan hampir meledak dalam dirinya. Lagi-lagi ia membatin. "Menyedihkan sekali mengetahui bahwa ternyata Mindia menyukai Fahmi, si Mr. F itu pada kenyataannya. Entah mengapa walaupun itu adalah dulu, tapi aku benar-benar merasa patah hati saat ini. Baiklah, mungkin ini bukan masalah besar, ini kurasa setimpal karena aku benar-benar mengacuhkan Mindia selama tiga tahun kerena kesalahpahaman yang tercipta. Tangisku kini kembali membuncah, tak peduli mungkin ada yang mendengarkanku atau tidak."
“Rei…” Ibu dengan matanya yang sayu mendekat Arei perlahan. “Sudah, jangan menangis…” ucap beliau sambil mengusap air mata Arei, tak peduli apakai ia adalah laki-laki yang berumur 23 tahun dan sudah bekerja. Tapi menurutnya, semua orang berhak menangis, tidak peduli ia wanita atau pun pria, muda maupun tua.
“Bu… Kenapa ibu tidak bilang? Setidaknya memberi tahu kalau Mindia adalah tunarungu. Rei… Rei selama 3 tahun ini salah paham, Bu…” Arei masih dalam tangisan penyesalan. “Dan Arei baru tahu bahwa selama ini, Mindia… Tidak tahu apa—apa… Arei malah memarahinya,”
“Mindia menyuruh ibu merahasiakan hal ini, Rei… Dia ingin memberitahu kamu langsung, tetapi ternyata kamu tidak juga terketuk hatinya untuk mendengarkan Mindia, kamu selalu menghindar. Ibu jadi sedih. Dan kamu juga selalu tidak ingin mendengar nama keluarga Fardenan lagi.”
“Rei benar-benar sakit hati pada saat itu, Bu...” Arei makin terisak. “Kalau begitu, mengapa ibu tiba-tiba beritahu hal ini? Mengapa ibu memberikan diarinya sekarang ini?” tanyanya perlahan.
“Rei, ibu tidak ingin berlama-lama merahasiakan ini darimu. Karena… Besok Mindia harus kembali ke Jepang. Dan…” Rei menatap ibunya penuh tanya.
“Kembali ke Jepang? Maksudnya dengan kembali? Memangnya dia selama ini ada di Jepang? Untuk apa, Bu?” Ibu kembali membalas tatapan tajam pada Arei. Ibu mulai terisak.
“Selama tiga tahun ini, Mindia melanjutkan studi di Jepang sambil menjalani pengobatan tunarungu-nya, dia juga operasi...”
“Apa? Operasi? Di mana Mindia sekarang, bu?” Arei berdiri tegak, ia memotong kalimat ibunya. Bayangan Mindia menari-nari di kepalanya.
“Sebentar Rei, dengarkan Ibu. Mindia ada di rumahnya. Kamu tahu tempatnya, kan. Dia…” Arei terduduk lesu. Keluarga Ferdenan, mereka lagi.
“Mungkin Arei memang bersalah dengan Mindia, tapi itu tidak merubah perasaan sakit hati Arei dengan mereka Keluarga Fardenan, Bu.” Sementara Arei bingung, apa yang musti dilakukannya.
“Rei, kamu perlu tahu bahwa semuanya ini adalah kekhilafan dan kamu tidak bisa menyalahkan siapapun. Biar bagaimanapun, selama 20 tahun keluarga Fardenan sudah merawatmu…”
“Dan juga membohongiku.” Arei memotong.
“Sudah ibu katakan, mereka tidak berbohong, hanya merahasiakan, Rei. Mereka sama seperti kami. Kamu bisa memaafkan Ibu dan Bapak, tapi kamu kenapa tidak bisa memaafkan mereka?”
“Berbeda, Bu. Mereka menggunakan uang dan merasa bahwa semua akan berjalan sehendak hati dengan uang yang mereka miliki. Dan di mana perasaan mereka, ketika mereka masih sanggup menemui putri kandungnya, sedangkan aku tidak pernah menemui ibu yang bahkan selama 20 tahun sekali-pun.” Tangis penyesalan Arei berubah menjadi kekesalan yang amat sangat, kenangan itu muncul kembali.
“Rei, dengarkan Ibu… Coba kamu pikirkan Rei, tenang dulu Rei… Yang mungkin berhak marah itu Mindia. Dia terlahir tunarungu sejak lahir, tapi ayahnya yang ingin memiliki anak laki-laki pertama malah menukarnya dengan anak ibu, yaitu kamu, Rei.” Aku masih mendengarkan sambil menunduk dalam. “Bayangkan bila kamu jadi Mindia, ia hidup sederhana tanpa materi yang berlebih karena bertukar denganmu. Ia tak tahu apa-apa, tapi ia mampu membuka hatinya untuk berpikir positif dan bersifat lapang untuk memaafkan. Rei…”
Arei dalam tangis pilu itu merasakan perih saat ternyata begitu beruntungnya dirinya. Dan tidak sadar bahwa selama ini ia malah bersikap egois dan tak ingin menerima apapun. Ia selalu memikirkan kelogisan dibandingkan perasaan. Arei pun memeluk ibunya... “Bu. Aei akan berangkat ke Jogya sore ini.” Ia menutup matanya menuangkan penyesalan yang sangat. Justru ialah yang selama tiga tahun ini tertutup hatinya oleh dinding yang beku, tanpa ada rasa yang singgah.
***
To be continued... Berawal dari Kesalahpahaman (Part 3)






0 comments:
Posting Komentar