RSS

Berawal dari Kesalahpahaman (Part 4)

Lanjutan kisah Berawal dari Kesalahpahaman (Part 3)

Mindia sedang berkumpul dengan keluarga besarnya, yang ini mungkin akan terjadi sekali seumur hidup, jarang mereka berkumpul bersama seperti ini. Ia masih tidak percaya bahkan sedih, mengingat rasa yang nyaman saat ia berkumpul dengan keluarga yang dulu sederhana dan selalu bersama. Rasa kasih sayang pada Ibu Bapaknya kembali terniang, meski kemarin Mindia memang sudah bertemu keduanya untuk melepas rindu.

Arei dan Mindia tertukar dengan sengaja. Ayah Mindia ingin memiliki anak laki-laki agar kelak bisa meneruskan usahanya dan juga silsilah keluarga Fardenan, sedangkan saat itu Ny. Fardenan hanya bisa melahirkan sekali waktu karena saat setelah melahirkan Mindia putrinya yang pertamanya, ia harus mengangkat rahimnya kerana kanker.

Pada hari kelahiran yang sama, di ruang bangsal pada rumah sakit yang sama tersebut, ada seorang keluarga yang miskin yang tengah menunggu kelahiran anaknya. Saat itu, ayah Mindia meminta pada dokter yang menangani pasien tersebut. Kemudian menukar bayinya dengan bayi laki-laki yang sebentar lagi lahir itu, yang kemudian diberi nama Nareihan, tanpa memberitahu keluarganya sama sekali.

Semua berjalan lancar, hingga tiba-tiba setelah lima tahun kemudian, sang ayah merasa sangat bersalah karena ia malah menukarkan bayinya sendiri, dan malah hendak merawat anak orang lain. Oleh karena rasa bersalahnya, kemudian ia hanya bisa memberikan sejumlah uang kepada keluarga miskin itu rutin tiap bulannya, sambil menjenguknya sesekali ketika mereka merindukannya.

“Mindai… Siapkah untuk besok, sayang?” Tanya Bunda.

“Bun… Mindia siap, tapi…” ia hendak berterus terang…

“Tapi kenapa sayang? Apa masalah Nareihan?” Tanya bundanya memastikan.

“Permisi Nyonya, tuan muda datang bersama temannya.” Seorang pelayan mengenakan seragam oranye tiba-tiba menghampiri.

“Tuan muda?” Bunda terkejut mendengarnya. Tuan muda adalah sebutan untuk Arei, dan selama tiga tahun sebelum ini sebutan itu tidak pernah didengarnya. “Benarkah? Suruh masuk, Kei” Ibunda tersenyum berharap ini bukan mimpi. Arei, ia selama tiga tahun ini tidak berjumpa dengan anak itu. Membuatnya depresi apabila ia tidak sadar bahwa Mindia adalah anak kandungnya, bukan Nareihan.

“Tuan Muda?” Mindia penasaran, ia melirik ibunya, menatap sekilas.

“Tante…” Fahmi tersenyum pada Bunda. Ia lebih dulu masuk, sedangkan Arei ternyata mengurungkan niat untuk ke rumah itu. Arei pergi ke ruang pribadi di depan rumah yang merupakan kantor Tuan Fardenan yang ia rasa adalah penanggungjawab segalanya. Harus yang menjadi yang pertama ia temui saat itu juga.

“Fahmi… Lama tidak mampir kemari, apa kabar? Dan…” Bunda melirik kanan kiri, ia merasa sepetinya memang bukan Arei yang datang. Ini mimpi, tidak mungkin Arei datang.

“Alhamdulillah, baik…” jawabnya sumringah. “Hei Mindia, kenapa seperti kaget begitu.” Sapa Fahmi.

“Eh, kenapa bisa ada di sini, Fahmi?”

Mindia jadi bingung sendiri. Ia melirik ke arah Fahmi yang datang tanpa kabar itu. Terlebih melihat dengan jelas Fahmi memegang diarinya, ia ingat betul kalau itu adalah diari yang ada rumahnya, yang ia titipkan dengan Ibu. Kalau sekarang ada di tangan Fahmi, sudah pasti ia membaca isinya. Tiba-tiba Mindia melemas, kalau Fahmi membaca kalimat akhirnya, mungkin ada kesalahpahaman di sini, berharap Arei belum membaca itu.

Mindia mengingat kejadian masa lampau yang merupakan kesalahan Fahmi. Itu tiga tahun yang lalu, setelah ia dan Arei selesai membantu Mindia mengajari beberapa anak kecil tunarungu. Mindia menghampiri Fahmi yang ada di depan setir dan duduk diam, sementara Arei bercanda ria dengan anak kecil di sebrang jalan sana. “Hai, terima kasih atas bantuannya.” Ucap Mindia tulus. “kita bahkan belum berkenalan. Namaku Min,Dia… Kamu siapa?”

Fahmi melirik sekilas kepada Mindia tanpa turun dari Hammer. Fahmi sedikit pusing pada saat itu hanya mendengarkan sepotong kalimat Mindia dan mengartikannya sebagai “Namaku Min. Dia siapa?” karena pada saat itu Mindia sedang tersenyum kecil melihat tingkah laku Arei yang seperti kekanak-kanakan bermain dengan anak-anak kecil. “Arei.” jawab Fahmi hampir ketus.

“Oh… Arei, Kalau temanmu di sana, siapa namanya ya?” Sambil menunjuk ke arah Arei.

Fahmi terperangah, baru menyadari bahwa yang pertama tadi Mindia bertanya namanya. Dan
dalam saat bingung, entah kenapa ia tanpa sadar menjawab, “Fahmi. Dia baru pindah dari Jogya dan aku membantunya pindahan rumah.” Ini sungguh sebuah kebohongan, dan Fahmi benar-benar bingung mengapa ia jadi seperti itu. Sesaat ia seolah menyamar menjadi Arei. Tapi Mindia tidak tahu sama sekali saat itu.

“Sayang, Mindia… Kenapa melamun?” Bunda menguncang tubuhnya pelan. Mindia kembali tersadar. Ia memperhatikan sekitar.

“Maaf, Bun.” Kemudian ibunya beranjak dari sofa menuju seorang pelayan yang tadi hampir membuat Bunda bahagia karena ia menyebut nama tuan muda. “Oh ya, mau minum apa? Pasti lelah habis dalam perjalanan jauh, ya?” tawar Mindia berbasa-basi pada Fahmi.

“Eh, air putih saja.” Fahmi merasa kaku, bingung hendak berbicara dengan Mindia.

Setelah kemarin ia menyadari bahwa Mindia sudah menolak hatinya secara halus walau tidak secara langsung. Kata itu kembali terniang dalam pikirannya, “Aku tidak akan pernah pacaran. Biarpun dengan orang yang kusukai sekalipun. Kuharap kamu mengerti, islam tidak mengajarkan adanya hubungan khusus antara laki-laki dengan perempuan yang sah kecuali pernikahan.” Senyumnya pun berubah hambar. Padahal saat itu Fahmi hanya bertanya, “Apa kamu punya pacar?” dan ia benar-benar takjub dengan pemikiran gadis ini, benar-benar cerdas dan wanita baik-baik.

“Emmm… Jadi, ada perlu apa kamu kemari, Fahmi?” ulang Mindia. Kini Fahmi yang tersadar dari lamunan singkatnya.

“Kamu tadi benar-benar melamun, ya?” Tanya Fahmi.

“Mungkin.” Wajah Mindia memerah, bagaimana mungkin ia jadi suka melamun begitu, memalukan.

“Aku tadi sudah menjelaskan dengan ibumu.” Terang Fahmi.

“Oh… Emmm… Kenapa diari itu ada di tanganmu?”

“Ini? Arei menyuruhku membacanya. Well, padahal aku tidak suka membaca. Dan lagipula, aku sudah tahu jelas rincian di dalamnya, kecuali…”

“Lembar terakhir. ” Potong Mindia.

“Ya. Dan itu kesalahpahaman, aku minta maaf.” Tambah Fahmi.

“Apa dia sudah membacanya? Bagaimana katanya?” Mindia meremas-remas ujung jilbabnya, ia resah. Takut dan bingung.

“Tentu saja. Dia hanya bilang, meskipun rasanya sakit hati membaca kalimat akhir itu, tapi ia rela bila kau denganku. Itu katanya.”

“Maksudnya dengan sakit hati? Bararti ia…” tiba-tiba Mindia gugup. Antara senang dan bimbang, ia juga bingung, rasanya tidak mungkin. “Eh, apa kamu sudah menjelaskan yang sebenarnya?”

“Belum.” Fahmi menunduk merasa bersalah.

“Kenapa?” Tanya Mindia.

“Karena aku menyukaimu.” Batin Fahmi lirih. Dan juga… “Dia ternyata menyukaimu.” Fahmi berusaha tersenyum getir. Mereka saling menyukai, dan rasanya sangat pengecut apabila tidak mengatakan yang sebenarnya.

“Bercanda, ya?” senyum Mindia merekah, ia malu-malu.

“Benar. Ternyata sudah sejak tiga tahun yang lalu, dia kagum saat kepedulianmu terhadap
anak-anak kecil itu.” Jawab Fahmi sekenanya. Rasanya ia tidak ingin membicarakan hal ini. “Tapi… Aku masih memegang perkataanmu kemarin, loh…”
*** 

Berlanjut ke Berawal dari Kesalahpahaman (Part 5)

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 comments:

Jadilah SaMoNa (Sahabat Mom Anna)