Lanjutan kisah Berawal dari Kesalahpahaman (Part 2)
Fahmi menyendiri dalam kamar. Ucapan Mindia kemarin terngiang jelas di telinganya. Ia patah hati, karena ternyata cintanya bertepuk sebelah tangan. Dalam tiga tahun ini kedekatan Mindia dan Fahmi tanpa disadari membuat Fahmi memiliki perasaan yang khusus padanya, meski mereka tidak bertemu, hanya berkomunikasi biasa lewat telepon. Mindia sama sekali tidak menyangka akan terjadi hal yang seperti itu, karena yang ia tahu, kedekatan mereka hanya karena permintaan Mindia yang menyuruh Fahmi untuk menjaga rahasia tentang dirinya.
Fahmi menerawang ke masa lalu, saat pertama kalinya ia bertemu dangan Mindia, gadis kalem yang baik hati itu. Sewaktu ia dan Arei selesai berberes-beres kamarnya, hari pertama ia pindahan rumah ke daerah pedalaman dekat Girimulyo. Arei merupakan sahabat sejati, yang sampai pindahan rumah pun, ia pun ikut andil. Mereka berdua terkadang seperti tom and jerry, sering berantem tapi tak pernah bisa lama karena pasti berbaikan lagi. Arei mungkin adalah malaikat, karena ia dari keluarga yang kaya raya sedangkan Fahmi hanya orang biasa, namun Arei tidak pernah mengungkit masalah perbedaan status sosial ini, ia tak pernah pandang bulu.
Waktu itu Fahmi menyetir Hammer milik Arei, yah, bisa dibilang bahwa Arei juga mengajari Fahmi menyetir beberapa mobilnya. Sering kali Fahmi merasakan bahwa Arei benar-benar orang yang tulus. bisa dibilang Fahmi ini merasa seperti kaki tangan Arei, selalu ada. Dan saat Fahmi menyetir, tiba-tiba Arei berteriak.
“Rem. Stop!” refleks Fahmi menginjak panel Rem. Hampir saja sekelompok anak kecil dan
seorang gadis tertabrak. “Fahmi, ayo turun…” perintah Arei. “Maaf kalian enggak apa-apa, kan?” Arei membantu berdiri beberapa anak kecil yang terduduk kaget. Sebagian mereka tidak menyahut, sebagian lagi terpesona dengan Hammer yang begitu besar dan mungkin baru pernah mereka lihat saat itu.
“Tidak apa-apa. Kami cuma kaget.” Gadis yang bernama Mindia itu tersenyum.
“Kalian mau kemana? Ayo kita antar!” tawar Arei.
“Tapi, kan..” sela Fahmi, sambil membisiki Arei. “Mobilnya baru aja dicuci, nanti kotor lagi...” setelah itu Fahmi hanya memandang ke arah Mindia. Memastikan ia tidak mendengar bisikannya kepada Arei. Mindia bersikap biasa saja, Fahmi menghembuskan nafas lega.
“Terima kasih atas tawarannya, tapi jalan kaki bentar juga sampai.” Gadis itu tersenyum sampil menunduk.
“Ayo adik-adik, masuk ke mobil, yuk.” Arei menatap anak-anak kecil tersebut. Namun mereka hanya diam, melirik ke arah Mindia, bertanya dalam kode tangan apa yang telah diucapkan Arei tadi. “Mereka…? Maaf, aku tidak tahu kalau… Hmmm… Tolong ya, translate-kan bahasaku tadi.” Arei kemudian nyengir kuda.
“Kakak tadi bilang, ayo adik-adik, kita naik mobil.” Mindia menunjukkan gerak tangan sebagai sandi untuk percakapan tunarungu.
Anak-anak tersebut teriak girang, mungkin ini pertama kalinya mereka naik mobil. Ah, Mindia ternyata terlihat sangat cantik, batin Fahmi saat itu. Hatinya berdesir melihat kebaikan wanita di depannya ini. Bagaimana mungkin ada saja yang peduli terhadap anak-anak yang tunarungu seperti ini? Bahkan ia pribadi pun tidak peduli, atau mungkin belum.
“Fahmi… Buka pintu kamarmu!” teriakan Arei menghentikan lamunan Fahmi. Ia berdiri kemudian menuju pintu kamar. “Tumben-tumbennya dikunci, lagi ngapain sih?” Tanya Arei penasaran.
“Enggak apa-apa,” jawab Fahmi setelah membukakan pintu kamarnya.
“Aku pinjem kamu bentar. Temani aku ke Jogya, ya…” Arei berlari ke lemari pakaian Fahmi, mengambil beberapa baju dan celana di sana. “Mana tasmu, buru-buru banget nih.” Saking akrabnya mereka, mungkin Arei berlaku seolah-olah Fahmi sudah menerima ajakannya itu tanpa menjawab ‘ya’ atau ‘tidak’.
“Sebentar. Memangnya ada acara apa, sih? Kemana tujuan kita?” Fahmi mengernyitkan dagu, ia hampir dapat menebak ke mana tujuan Arei tanpa berbasa-basi mengajukan pertanyaan itu.
“Nanti di jalan kuceritakan. Aku sudah ijin dengan Mama-mu… Beliau oke-oke saja.” Jawab Arei sambil menatap serius pada Fahmi.
“Rei, matamu kok sembab? Kamu…” Fahmi menatap mata Arei. Semula ia sedikit kesal dengan sikap Arei yand terlihat seenaknya ini, tapi rasanya menyedihkan melihat teman yang baru saja menangis ini. Pasti ada apa-apa. Fahmi menatap pada Arei tajam. Masih menyisakan tanya yang mendalam, apa mungkin ia sudah tahu sesuatu yang selama ini Fahmi rahasiakan?
“Ceritanya panjang, ayo kita berangkat, aku sudah minjam pick up punya Pak RT.” Seru Arei sambil berlari tergesa-gesa keluar.
Sesampainya dalam mobil Arei hanya diam saja sambil mengingat perkataan ibunya, dilakukan berulang-ulang hingga ia hapal di luar kepala, “… memaafkan itu lebih mulia daripada meminta maaf. Namun meminta maaf adalah hal yang baik dari yang terbaik” hingga separuh perjalanan mereka. Dan ia baru kemudian teringat kalau ternyata ada orang disampingnya saat ini.
Fahmi sedari tadi bingung dan ingin bertanya, namun takut kalau kondisi kurang baik ini mempengaruhi Arei yang sedang sibuk menyetir. Sehingga ia pun hanya diam menunggu. “Fahmi, aku bingung mau cerita apa, tapi kamu baca dulu saja diari yang ada di dalam ranselku.” Fahmi pun menurut, ia pun mengambil sebuah diari yang lusuh dan tertulis jelas sebuah nama “Mindia” pada cover depannya. Fahmi kembali bertanya, mengapa diari ini ada di tangan Arei, apakah mungkin mereka berdua…
Fahmi memang tidak suka membaca, apalagi kalau yang dibaca adalah tulisan tangan. “Ini… Dibaca semuanya?” Fahmi melirik untuk memastikan bahwa ia cukup membaca di bagian tertentu kemudian selanjutnya biarkan ia mendengar semuanya dari mulut Arei. Tapi Arei hanya mengangguk. Itu tandanya, ia harus membaca keseluruhan dan ia yakin itu akan sangat memakan waktu yang lama, sampai ke halaman terakhir. Dan benar saja, Fahmi membuang waktu selama kurang lebih satu jam untuk menuntaskan bacaan yang hanya sebelas lembar saja.
Dag dig dug rasanya Fahmi membaca paragraf akhir. Dibanding lembar-lembar sebelumnya ia tidak seterkejut ini, karena sebenarnya ia memang sudah tahu sebelumnya. Malah Fahmi merasa sangat bersalah dengan Arei, ia selama 3 tahun ini merahasiakan sesuatu pada sahabatnya. Bukan sengaja, tapi memang Mindia-lah yang memohon agar Fahmi tidak memberitahukan segala sesuatu tentang dirinya, mengenai ia ke Jepang, ia adalah seorang tunarungu, dll.
Fahmi tak menyangka bahwa selama ini perasaan Mindia yang sebenarnya sudah tertulis di buku diari. Ini benar-benar sesuatu yang entah mengapa membuatnya kurang suka. Ada rasa di mana ini seharusnya tidak boleh terjadi, namun memang nyatanya telah terjadi. Ia telah melakukan kesalahan, kesalahan yang sampai saat ini pun tidak diketahui oleh Arei. Ia tidak bermaksud bohong, tapi ia memang tidak sengaja merahasiakannya.
“Rei… Yang paragraf akhir ini aku bisa menjelaskannya. Kalau…” Fahmi menatap Arei pilu.
“Sudahlah, Ga. Tidak usah menghiburku, aku memang patah hati membacanya. Tapi ya sudahlah, bila Mindia lebih memilihmu, aku rela. Yang terpenting sekarang adalah, aku mesti meminta maaf. Itu saja.”
“Apa? Kamu patah hati? Berarti kamu memang benar-benar…”
Fahmi menundukkan wajah. Mungkin tadi siang memang benar ia mendengar sekilas pernyataan Arei menyukai Mindia. Tapi ia sengaaja saat itu tidak menggubrisnya. Ia tak ingin sakit untuk membicarakan hal itu, hanya berharap itu hanya basa-basi Arei saja. Tapi ternyata tidak, kenyataan bahwa sebenarnya mereka berdua menyukai orang yang sama. Benar-benar dilema yang pahit.
“Iya, tapi mungkin itu dulu, tiga tahun yang lalu. Ah, sudahlah, kita harus cepat sebelum Mindia berangkat ke Jepang.” Fahmi tidak terlihat kaget, ia sudah tahu kalau Mindia besok memang pergi. Tapi yang baru Fahmi tahu, ternyata Arei menyukai Mindia. Ada rasa sesak di dada Fahmi karena cemburu, juga rasa panas karena merasa bersalah. Ternyata Arei pun menyukai Mindia, sama sepertinya. Ia merasa galau, ini sangat menyedihkan karena mereka berdua adalah sahabat.
“Hei. Fahmi? Woyyy!” Fahmi kembali tersadar dalam lamunan. “Kenapa melamun? Kamu kaget Mindia pergi ke Jepang?” Tanya Arei. Dan Fahmi berbohong, ia mengangguk kecil sembari memandang jalan di depan.
“Rei… Hmm… Sebenarnya…” Fahmi berusaha untuk menjelasakan sebuah kesalahpahaman yang belum diketahui Arei.
“Sudahlah tak apa, aku tahu kamu menyukai Mindia, kan? Kamu sering sms-an sama dia. Kamu pikir aku tidak tahu kalau yang namanya kamu tulis Aidnim itu siapa?” Fahmi kaget, temannya bahkan tahu kalau ia merahasiakan ini.
“Tapi, Rei… Ini tidak seperti yang kamu pikirkan.” Arei hanya tersenyum, meski hatinya sakit. Tapi ia mencoba untuk tetap tegar. Bila semua yang dia inginkan ini didapatan oleh sahabatnya, ia akan rela.
***
To be continued... Berawal dari Kesalahpahaman (Part 4)
Berawal dari Kesalahpahaman (Part 3)
Posting by
Anna Al Choirunnisa
|
Labels:
Novelet dan Cerpen
/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)






0 comments:
Posting Komentar