Lanjutan kisah Berawal dari Kesalahpahaman (Part 4)
“Iya jelas, aku tidak akan pacaran dengan siapa pun. Kamu bisa jadi saksi kalau aku melanggar.” Mindia tersenyum miris, ia brharap semoga Arei bukanlah seperti laki-laki yang suka sembarangan mengajak pacaran. “Tapi…”
“Kenapa?” tannya Fahmi.
“Apa Arei, pernah pacaran?” Mindia menunduk dalam, ia berharap mendengar jawaban “never”
dari mulut Fahmi. Bissmillaah..
“Sebentar aku ingat-ingat dulu. Berapa kali ya…” Mindia kaget, dia mengarah pandangan ke Fahmi, laki-laki itu terlihat serius berpikir. Maksudnya apa ini? Berapa kali? Astagfirulloh… Mindia geleng-geleng kepala dan berharap ini hanya mimpi. “Oh ya, 11 kali.” Fahmi menambahkan.
Naudzubillah, jangankan sebelas kali. Satu kali pun Mindia sudah menganggap buruk laki-laki yang dikaguminya itu. Ia beristigfar mohon ampun, bagaimana mungkin ia menyukai seorang yang sudah sebelas kali berpacaran tersebut. Ada luka yang tajam menggores hati Mindia, ia benar-benar tidak menyangka akan hal itu. “Oh… Begitu…” hanya itu yang mampu ia ucapkan.
“Ya. Sebelas kali Arei ditembak oleh beberapa gadis, tapi ditolak semuanya. Dia tidak pernah pacaran. Dan kamu tahu, Arei tidak akan pernah mau berpacaran. Kalaupun terpaksa harus pacaran, maka besok langsung dinikahinya gadis itu, itu katanya sih.” Hampir saja Mindia meledakkan tangis apabila tidak mendengar kalimat yang terakhir itu dari Fahmi. Ia kembali tersenyum pahit memberikan pernyataan ini.
“Fahmi, kamu kalau ngomong yang jelas. Aku hampir syok... dan juga sempat suudzon, tadi…” ucap Mindia berterus terang. Ia tersenyum lega.
“Hehehe.” Fahmi hanya tertawa hambar. “Oh ya, aku datang bersama dengan Arei ke sini.” Jelas Fahmi.
“Oh ya? Arei ke sini? Di mana dia sekarang?” Mindia memandang ruang tamu yang sangat luas itu. Ia tidak menemukan keberadaan Arei, hanya beberapa pelayan yang berada di ujung pintu.
“Dia sedang menemui Om Fardenan, ayahmu…” jawab Fahmi. “Ia sudah tahu segalanya, tapi
bukan aku yang memberitahu, loh” terang Fahmi segera, takut Mindia menyangka ia yang telah membocorkan rahasia mereka.
“Alhamdulillah… Aku senang dia akhirnya menemui Ayah…” ucap Mindia lega.
“Iya, sepertinya akan akur kembali, aku juga sebenarnya merasa tidak nyaman merahasiakan ini dari Arei, dia terlalu banyak berbuat baik untukku. Tapi aku malah…”
“Maafkan aku, Fahmi. Kalau saja aku tidak merahasiakan hal ini tentu tidak akan selama ini kesalahpahaman tidak berlanjut lama. Aku selama ini hanya berpikir ingin menjelaskan semuanya sendiri pada Fahmi, supaya ia lebih percaya. Tapi…”
“Sudahlah, yang penting sekarang kan semuanya sudah jelas.” Hibur Fahmi. “Oh ya, jadi ingat waktu SMA dulu. Hmmm, di rumah ini juga. Tante selalu saja mengingatkanku supaya Arei jangan sampai naksir dengan wanita lain, karena ia sudah dijodohkan.” Tante adalah panggilannya untuk Nyonya Fardenan.
“Dijodohkan? Dengan siapa?” kembali rasanya hati Mindia retak. Ternyata Arei selama ini…
“Dengan…”
“Fahmi… Hei, aku pinjam Mindia-mu sebentar, boleh?” teriak Arei dari kejauhan sambil berlari pelan.
Mindia dag dig dug. Kenapa Arei harus mengatakan kata ”Mindia-mu” seperti itu, membuat Mindia menjadi sakit mendengarnya. Fahmi hanya mengangguk. “Baik!” ucapnya lirih. Kemudian meninggalkan ruang tamu. Mindia merasa aneh, mengapa Fahmi sama sekali tidak memberikan perlawanan, paling tidak meluruskan kesalahpahaman yang sudah terjadi ini.
“Arei…” Mindia langsung tertunduk. Perasaannya campur aduk, antara senang sekaligus bimbang.
“Aku, benar-benar minta maaf, Ibu baru saja memberiku diari itu.” Ah, diari itu, ada kesalahpahaman di sana tentang mereka, Mindia menjadi galau. “Seandainya aku berusaha untuk mendengarkanmu, pasti tidak akan ada salah paham ini. Mindia.. Maafkan aku…” Kembali Arei tertunduk. Baginya ini merupakan kesalahan terberat. Ia sudah menerima kesalahan Tuan dan Nyonya Fardenan, yang dulu ia panggil Ayah dan Bunda. “Aku tahu, padahal kamu yang berada di posisi terberat, bahkan aku baru saja menyadarinya.”
“Arei… Tidak apa-apa. Aku juga meminta maaf, seandainya aku bisa menyampaikan ini langsung tanpa harus melalui perantara diari itu.” Ah, semua sudah berlalu. Ia sangat ingin segara menjelaskan kesalahpahaman dalam diari itu, supaya tidak muncul kesalahpahaman berikutnya, tapi sulit baginya berkata apa-apa. Lidahnya kelu.
“Terima kasih, Mindia… Tapi aku pun salah karena dulu tidak ingin mendengar apapun darimu. Maaf… Aku terlalu egois.” Arei lega karena semuanya sudah terungkapkan, hanya saja perasaannya yang tidak mungkin ia sampaikan. Sulit dan terasa kurang menyenangkan, karena ia yakin bertepuk sebelah tangan. “Besok… Kamu balik ke Jepang? Ibu yang bilang.” Lanjutnya mengalihkan pembicaraan.
“Oh ya, hanya seminggu. Aku akan wisuda.”
“Wisuda? Bukannya operasi juga?” Tanya Arei menyelidik.
“Bukan, operasi sudah 2 tahun yang lalu. Ibu juga ikut mengantar ke bandara saat itu. Memangnya, kamu tahu darimana?” Arei kaget. Jelas ada kesalahpahaman lagi, ia merasa ibu mengatakan bahwa Mindia akan operasi, tapi ya sudahlah… Ibu cukup bijak mengatakan hal ini, karena apabila beliau hanya bilang wisuda, sudah pasti Arei tidak tergelitik hatinya untuk datang kemari.
“Aku salah dengar mungkin… Syukurlah kalau begitu.” Jawabnya lirih.
“Mungkin kamu juga perlu operasi. Kok bisa salah dengar, hehehe!” Mindia berusaha tersenyum mangajak barcanda, mencairkan suasana hati yang sangat panas terasa.
“Yea… Boleh, deh… Ayo, antar aku ke Jepang… Hehehe.” Sesaat Arei bingung dengan maksud arah pembicaraannya ini. “Oh ya, gimana dengan Mr. D?” tiba-tiba Mindia berhenti tertawa. Keduanya sama-sama gugup. Tuan dan Nyonya Fardenan datang bersamaan dengan Fahmi. “Eh, kami sedang mengobrol, Ayah… Eh, tuan Far…” Arei merasa bingung hendak memanggil apa baiknya orang tua yang sudah merawatnya selama dua puluh tahun ini.
“Arei, kami sampai kapan pun adalah ayah dan ibundamu, tidak akan berubah. Jangan merubah panggilan, nak!” potong Tuan Fardenan.
“Oh ya, Ayah… Kita punya kabar gembira untuk Arei dan Mindia.” Bunda tersenyum sambil melirik Fahmi, memberinya kode.
“Iya, om. Sampaikan kabar gembiranya!” ucap Fahmi sambil tersenyum ramah. Ia sangat gugup akan hal ini, tapi ia rasa ini yang terbaik.
“Oh, iya. Dengarkan baik-baik, sebentar lagi Mindia akan menikah setelah wisuda.” ucap Ayah sambil tersenyum. Mindia tertunduk, perasaannya tidak nyaman.
Arei tersenyum kecut, ia sudah tahu akan hal ini. Pasti Fahmi sudah melamar pada Ayah sesaat ia mengobrol dengan Mindia tadi, ia yakin Fahmi sudah tahu bahwa Mindia menyukainya, dari diari itu. Namun ia harus berusaha tenang, seperti tidak terjadi apa-apa, ia mengucapkan, “Wah.. Selamat ya, Mindi…” namun Mindia hanya tersenyum hambar. Arei sudah pasti panas, namun ia berusaha mancairkan suasana, sambil bercanda, “Tapi masa ngeduluin aku, Yah? Gimana ini. Hmmm…”
“Siapa bilang ngeduluin? Kalian nikah bareng…” Maksudnya? Masih ambigu untuk dimengerti, nikah di hari yang sama, maksudnya? Mindia semakin menunduk, itu bahkan akan memperparah keadaan. Bagaimana mungkin kedua insane yang saling menyukai harus menikah ddi hari yang sama dengan pasangan yang berbeda.
“Bareng gimana, Bun?” Mindia melirik ibunya sekilas. Fahmi mulai menyadari ketidaknyaman di antara mereka berdua ini.
“Loh, kalian berdua ini sudah dijodohkan dari kecil.” Jawab ibunya.
“Apa?” Mindia dan Arei berbarengan menjawab. Ada senyum merekah yang muncul di hati keduanya. Terlebih Arei yang terkejut, antara senang dan bimbang. Mindia tidak dapat menahan malu, jelas langsung berlari menghindar, bersembunyi dibalik dinding, ia tidak mau siapa pun melihat wajahnya yang sangat merah ketika itu.
Arei yang tadinya sangat bahagia mendengar hal itu, mendadak mengerti akan situsasi ini, parginya Mindia merupakan jawaban yang cukup mudah dimengerti bahwa ia menolak perjodohan ini. Arei menatap Fahmi yang iya tahu bahwa Fahmi sedang berusaha untuk tersenyum ramah, berpura-pura tak sakit. Ia pun memberanikan diri untuk mengeluarkan suara, harus ada yang berbicara.
“Maaf Ayah, Bunda… Nareihan bukan bermaksud menolak, tapi Arei tidak bisa menerima perjodohan ini, karena Arei akan melamar gadis yang ingin Arei jadikan istri. Dan mungkin begitu dengan Mindia, ia berhak menyukai seseorang dan orang itu bukan Arei. Maaf Yah, Bunda…” berat rasanya mengucapkan itu, tapi lebih berat lagi menghadapi kenyataan bahwa Mindia lah yang lebih dulu menghindar, sakit rasanaya. Fahmi serasa bersalah, amat bersalah.
Fahmi menatap tajam pada Arei, ia tak menyangka akan seperti itu. Terlebih Tuan dan Nyonya Fardenan hanya saling memandang heran, kenapa bisa menjadi seperti ini. Di sudut sana, Mindia yang sedari tadi mengintip, langsung terduduk lemas. Ia ditolak, dan ia tidak bisa melakukan apapun, ia pasrah dengan dibanjiri air mata. Ia mengira bahwa mungkin Arei memang tidak memiliki perasaan yang sama seperti dirinya.
Hanya Fahmi yang paling tahu detail, kesalahpahaman ini menjadi lebih besar, bumerang derita bagi insan dan keduanya terkena sakit yang amat nyeri. “Om, Tante, Arei, dan juga Mindia… Saya meminta maaf akan hal ini. Saya akan menjelaskan semuanya… Supaya tidak ada salah paham…”
***
10 tahun kemudian
“Hayo,,, lagi mikirin apa, Bi?” Mindia menatap suaminya, sambil mengaduk gula di dalam secangkir teh.
“Eh. Enggak ada, Cuma mikir bagaimana kalau…” Suami itu menatap Mindia tajam. “Ah,
enggak jadi. Eh, mana tehnya, haus nih…” sambil mengambil secangkir teh buatan istrinya.
Tiba-tiba telepon rumah bordering. Mindia pun sigap untuk mengangkat telepon tersebut, kemudian berbicara sebentar. Kemudian wajahnya menjadi cerah, walau obrolan lewat telepon itu sangat singkat. Ia pun kembali ke meja makan mendatangi suaminya. “Tadi sahabat Abi yang nelpon. Dia sama istrinya mau balik ke Indonesia besok, katanya langsung mampir ke rumah.”
“Oh ya, Alhamdulillah… Betah sekali mereka di negeri orang.”
“Iya, untung bukan suami Mindi, ya… Untung aku nikahnya sama Abi, bukan sama dia.” jawab
Mindia bercanda.
“Wah, Umi nakal, ya… Kok gitu sih ngomongnya, cemburu nih Abi jadinya…” suami Mindi tiba-tiba mencubit pipinya.
“Aduh… Abi, sakit ah… Kan Cuma bercanda…” Mindi mengusap pipinya berulang kali.
“Makanya, Umi jangan gitu, lagi…” ucapnya sambil tertawa.
“Abi… Tadi lagi mikirin apa sih?” Tanya Mindia tiba-tiba. “Jangan dipendam gitu ah.
Ingat, jangan sampai ada kesalahpahaman lagi, ya.” Mindia mengingatkan, sambil mengenang masa lalu mereka.
“Hmmm… Abi cuma berpikir, gimana kalau kita nambah satu anak lagi…” canda suaminya sambil mengedipkan sebelah mata.
“Ahhh… Abi kok genit sih…” balas Mindia malu-malu.
“Tuh kan, malah jadi salah paham, masa sama istri sendiri dibilang genit.” Ucapnya sambil menyeruput teh.
“Umi… Raine nakal nih…” teriak si sulung.
“Abi… Deanda jahat nih, nyubit Nina…” teriak si bungsu.
Mindia memandang Nareihan suaminya yang juga memandangnya. Mereka saling pandang
kemudian tertawa lepas bersama.
(The End)
Berawal dari Kesalahpahaman (Part 5)
Posting by
Anna Al Choirunnisa
|
Labels:
Novelet dan Cerpen
/
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
3 comments:
nice story sis... (:
"k-molan"
very complicated story... :P
"cho_mu"
yeah... so complicated... :D
"k-molan"
Posting Komentar